MEMBANGUN KARAKTER DI TENGAH KELUARGA
BERITA LAINNYA - 02 February 2021
MEMBANGUN KARAKTER DI TENGAH KELUARGA
“ Anak belajar bukan dari apa yang didengar melainkan dari apa yang dilihat.”
Menciptakan bangsa yang besar dan berkarakter, bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak masyarakat yang memberikan protes pada pemimpin bangsanya yang dianggap kurang mampu memimpin, kurang cakap dalam menanggani masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan bangsanya. Lalu akhirnya bermunculah berbagai bentuk protes baik secara tertulis maupun dalam bentuk tindakan, bahkan tidak banyak muncul aksi-aksi yang kurang terpuji, yang seharusnya tidak dilakukan oleh warga bangsa atau warga masyarakat yang berkarakter. Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Pertanyaan yang harus kita jawab bersama, dan pertanyaan itu harusnya muncul pertama kali bukan ditengah-tengah bangsa yang cukup besar, melainkan di tengah-tengah keluarga. Bangsa yang berkarakter baik, berakar dari keluarga yang berkarakter luar biasa. Karakter yang baik adalah motivasi dari dalam untuk menunjukkan apa yang benar, walaupun kita suka atau tidak suka dalam setiap situasi.
Pengertian karakter seringkali berkaitan dengan istilah Moral atau Tingkah laku Moral. Dengan kata lain, sebelum seseorang mengambil atau melakukan sebuah tindakan, ia harus terlebih dahulu menyadari bahwa tindakkannya dapat menolong atau menyakitkan orang lain, tindakkannya berguna atau tidak berguna bagi dirinya. “ Think first before speaking and doing “
Stanton L. Jones dan Brenna B. Jones mengatakan bahwa ada beberapa gagasan yang penting bagi orangtua dalam menanamkan dan memahami karakter dalam keluarga. Gagasan-gagasan itu meliputi kebutuhan, nilai, keyakinan dan ketrampilan. Dan semua bermuara dari orangtua, dalam hal ini adalah ayah dan ibu. Oleh karena itu orangtua harus senantiasa hadir dalam kehidupan anak-anaknya secara total. Kehadiran orangtua harus diwujudkan dalam bentuk kuantitas dan kualitas. Quality time not quantity, harus dipahami dengan hati-hati agar tidak menyesatkan. Kuantitas dan kualitas waktu orangtua bersama buah hati harus seimbang. Dan yang paling utama adalah role model karakter macam apa yang diberikan orangtua pada anak-anaknya. Apabila orangtua tidak melakukan apa yang dicontohkan pada anaknya, maka orangtua itu sesungguhnya sedang membatalkan apa yang sedang diajarkan. Seorang ayah mengajarkan pada anaknya yang masih berusia 5 – 6 tahun dengan mengatakan “ Nah..... anakku, kamu harus rajin beribadah, harus rajin berdoa agar menjadi anak yang baik, yang pandai ..... “ Namun apa yang dilakukan oleh ayahnya ? Sementara sang ayah tidak pernah menunjukkan kesehariannya untuk beribadah dengan baik, sang ayah tidak pernah melakukan doa secara pribadi pada Tuhannya. Hingga akan muncul pemikiran dibenak sang anak adalah : “ ibadah itu dilakukan saat kita kecil, berdoa itu hanya diperuntukkan untuk anak kecil, nanti ketika sudah dewasa...... orang dewasa tidak perlu beribadah, orang dewasa tidak perlu berdoa....... “ Hal-hal seperti itu yang akhirnya tanpa disadari orangtua, sesungguhnya orangtua sedang membatalkan hidup saleh pada anak-anak kita.
Sebuah keluarga, terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak yang berusia 5 tahun. Suatu malam sebelum tidur, kedua orangtua memimpin doa malam bersama buah hatinya. Setelah duduk bersama, sang ayah mulai mengajak berdoa, sang ayah berkata “ Ya Tuhan....terimakasih , Engkau telah hadir di tengah-tengah keluarga kami....” Ketika sang ayah berkata demikian, sang anak melihat kekanan dan kekiri, dia terbengong-bengong mencari dimanakah Tuhan hadir, karena sedari tadi hanya bertiga yang duduk di kamar tersebut. Sementara si anak sedang kebingungan, sang ibu melanjutkan doanya “ Ya, Tuhan.... kami tahu Engkau berada di sini dan senantiasa memegang tangan kami “. Kembali si anak melihat kekanan dan kekiri..... dimanakah Tuhan yang berada disini dan memegang tangan kita semua ???? Tidak ada. “ Di kamar ini hanya ada bertiga, ayah , ibu dan aku, “ pikirnya semakin bingung. Dan akhirnya seusai berdoa, sang anak bertanya kepada ayah dan ibunya, “ Ayah, Ibu tadi sewaktu berdoa kalian mengatakan terimakasih Tuhan Engkau sudah hadir disini, terimakasih Tuhan , Engkau senantiasa memegang tangan kami......, tapi aku tadi membuka mata, melihat, mencari......tapi kok tidak ada Tuhan ???? Mana Tuhannya ???? “. Pertanyaan dan pernyataan yang lugu namun harus dijelaskan oleh orangtua. Lalu kedua orangtua tersebut membawa anaknya ke jendela, mereka memperlihatkan suasana di luar jendela, lalu mengatakan “ Anakku.... lihat disana....tanaman diluar bergerak-gerak ditiup oleh angin...... kamu melihat angin tersebut ??? “ Jawab anaknya “ Aku tahu itu karena angin, tapi aku tidak melihat angin tersebut.....” . “ Nah, demikian juga Tuhan, layaknya seperti angin, kita bisa merasakan dia hadir, tapi kita tidak mampu melihatnya “ Inilah penanaman gagasan sebuah nilai yang berkarakter. Membangun karakter di tengah keluarga , dimulai dari ayah lalu disusul oleh sang istri.
Menanamkan karakter yang luar biasa, akan mewariskan karakter luar biasa pula pada anak-anak kita. Namun sebaliknya apabila kita menanamkan karakter yang tidak baik, maka anak-anak kita akan mewariskan hal-hal yang tidak baik juga. Dua abad yang lalu ada studi tentang Max Jull dan Jonathan Edward. Keluarga Max Jull menanamkan serta mewariskan hal-hal yang negatif bagi keturunannya. Dia menikahkan anak-anaknya dengan gadis-gadis yang tidak beriman, sedangkan Jonathan Edward , menikahkan anak-anaknya dengan gadis-gadis yang soleh dan beriman. Beberapa puluh tahun kemudian hasil studi tersebut menyimpulkan :
Keturunan Max Jull : dari generasi mereka didapatkan 100 orang pernah terpenjarakan minimal 13 tahun penjara, tercatat 190 orang keturunannya menjadi pelacur, 100 orang adalah alkoholik, 100 orang dari keturunannya telah merugikan negara hingga 1,2 juta dolar.
Keturunan Jonathan Edward : 300 orang dari keturunannya menjadi pengkotbah yang handal, 65 orang dari keturunannya bekerja sebagai profesor di universitas terkemuka, 30 orang menjadi anggota kongres di dewan, 1 orang diangkat menjadi presiden, 13 orang menjadi presiden di beberapa universitas, 60 orang menjadi pengarang terkemuka.
Warisan apa yang akan kita bagikan pada anak-anak kita ? Besar usaha yang anda investasikan dalam membangun karakter adalah proposional dengan apa yang akan anda dapatkan kembali. Oleh karena itu penulis hendak menyampaikan bahwa :
1. Berfokuslah pada kualitas karakter setiap waktu
Charlotte K. Priatna mengatakan : “ Karakter adalah kualitas teguh yang dibangun dalam kehidupan seseorang yang menentukan responnya tanpa dipengaruhi oleh kondisi dan situasi. Ketika seseorang memiliki karakter yang baik, dalam kondisi yang sesulit apapun ia dapat memutuskan pilihan yang tepat ”. Maka orangtua, terutama kepala keluarga dalam hal ini “ AYAH “ harus mampu membawa anggota keluarga tidak hanya berfokus pada karakter, melainkan konsisten dengan memberikan kualitas karakter. Ketika kita konsisten dengan kualitas karakter yang diberikan pada keluarga, maka akan terbangunlah sebuah kebiasaan positif bagi seluruh anggota keluarga.
2. Jadikan karakter sebagai kebiasaan sehari-hari
Kelangsungan hidup manusia ditandainya dengan terpenuhinya kebutuhan pokok dalam hal ini adalah makanan dan minuman. Selain daripada itu manusia juga memerlukan kebutuhan sekunder sebagai pelengkap kebutuhan kesehariannya. Dan itu akhirnya menjadikan sebuah tuntutan yang berujung pada sebuah kebiasaan. Abraham Lincoln pernah mengatakan bahwa “ Karakter bagaikan pohon besar yang tumbuh kokoh.” Lincoln akan mengatakan bahwa pohon besar bisa bertumbuh karena tercukupinya makanan dan minuman dari dalam tanah setiap harinya. Peran keluarga terhadap terbentuknya karakterpun demikian. Pengembangan karakter dalam keluarga harus tertanam dalam kebiasaan sehari-hari. Dan pembelajaran karakter harus dilakukan terus berulang, hingga akhirnya karakter menghasilkan benih yang menghasilkan buah keberhasilan yang mampu bertahan lama.
3. Wariskan karakter yang memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain
Pendidikan karakter tidak akan menjadi efektif jika hanya berhasil membentuk perubahan pada diri sendiri tetapi tidak mampu mengaplikasikan pada orang lain. Wariskan karakter pada keluarga anda yang mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain, bangun hubungan horizontal dengan lingkungan dimana kita ditempatkan. Lockwood menuliskan bahwa karakter adalah program yang dirancang dan dilakukan oleh keluarga untuk secara langsung dan sistematis membentuk tingkah laku dari anak dengan nilai-nilai yang diyakininya sehingga menghasilkan perilaku. Dengan kata lain Lockwood menegaskan pentingnya kerjasama antara pribadi dengan orang lain dalam menghasilkan sebuah karakter positif yang luar biasa.
Seorang pemuda sedang membelah bongkahan batang pohon yang besar untuk dipotong menjadi beberapa bagian. Namun beberapa kali dia mencoba membelah dengan kampaknya, batang pohonpun tidak mampu dibelah. Dia lalu mengatakan pada ayahnya , “Ayah, aku tidak bisa membelah batang pohon ini. “ Sang ayah berkata, “ Anakku, apakah kamu telah menggunakan seluruh kekuatanmu ? “ Sang anak dengan cepatnya menjawab, “ Sudah....., tetapi sulit di belah .....” Sang ayah mendekatinya dan berkata , “ BELUM ! Kamu belum menggunakan mulutmu untuk minta tolong pada ayah.”
Biasakan menanamkan karakter pada anak-anak kita. Sekecil apapun, karakter positif akan menjadikan warisan yang sangat berharga.
Thomas Kristo M., MM., ELT
Ka. SMAK PENABUR Kota Tangerang
Informasi Terkini seputar sekolah kristen BPK PENABUR
Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur