If It Breaks, It Breaks
BERITA LAINNYA - 04 March 2022
If It Breaks, It Breaks
oleh Richael Cathleen (XIA2/24)
“Oke anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru. Ada pepatah yang mengatakan, ‘tak kenal maka tak sayang’. Ayo Nak, perkenalkan dirimu.” Kata wali kelasku di pagi hari.
“Nama saya Tobi, dari SMA Andreas. Salam kenal dan mohon bantuannya.”
Halo! Namaku Petra. Mulai hari ini, Tobi bergabung ke dalam keluarga besar 11 IPA 4. Karena baru saja pindah, tentu saja dia tidak memiliki teman. Setelah beberapa menit diam saja, Evan, salah satu temanku menyapanya.
“Halo Tob, Gue Evan. Salken ya.”
“Gue Petra, salken.”
“Gue Miyu, terus ini Emma. Mohon bantuannya ya Tob.”
“Iya, salken juga.”
Semenjak hari itu, kami berlima mulai dekat. Saat ada tugas berkelompok, kami berlima selalu bersama. Istirahat pun kami semua berkumpul di meja Miyu dan Emma untuk makan ramai-ramai. Benar-benar terasa seperti keluarga yang harmonis. Karena banyak orang yang selalu melihat kami berlima, kami dikenal dengan julukan ‘5 Serangkai 11 IPA 4’. Tetapi kami tidak menyangkalnya. “Toh beneran mirip 5 Serangkai kan?” balas Evan sambil tertawa terbahak-bahak. Semua kenangan yang aku alami bersama mereka benar-benar menjadi kenangan yang sangat bahagia.
“Ih nggak menyangka ya, kita sudah mau ke kelas 12 aja kita,” kata Miyu.
“Kira-kira kita semua bakal sekelas lagi gak ya?” tanyaku jahil.
“Semoga sekelas deh. Udah nyaman banget gue sama kalian,” balas Emma sambil meminum es teh manis yang dibelinya di kantin tadi.
“Kalau sekelas lagi asyik sih pasti,” sahut Evan yang diikuti dengan anggukan Tobi.
“Kalau misalnya kita semua kepencar gimana? Kan di IPA ada 4 kelas. Nggak lucu kalau kita semua dipisah satu-satu,” kata Miyu sambil tertawa terbahak-bahak.
“Nggak apa-apa deh yang penting gue bisa sekelas sama yang cakep,” balas Emma bercanda. Kami berlima tertawa bersama.
Beginilah kami. Meski kepribadian dan pendapat-pendapat kami berbeda, kami masih saja akur. Kami tahu keunggulan kami masing-masing. Kami tahu kelemahan kami masing-masing. Hal kesukaan kami semua juga berbeda, Tetapi, itulah yang membuat kami tetap akrab. Rasa ingin tahu tentang satu sama lain dan rasa peduli terhadap satu sama lain.
Bulan demi bulan kami lewati, ujian demi ujian kami jalani, dan banyak hal-hal lain yang kami jalani, hingga akhirnya kami naik ke kelas 12. Pembagian kelas 12 sudah dibagikan, namun belum semua anak melihatnya. Contohnya aku, Petra, bangun kesiangan hari ini. Padahal aku sudah pasang alarm, tapi tetap saja terlambat bangun.
“GUYS BERITA BESAR, KITA SEKELAS YEEYY,” kata Miyu.
“YEYY….” Emma menyahut dengan ceria.
“Bentar, bukannya kita nggak sekelas sama Petra?” tampak Evan menyela.
“Ehm...iya kita tidak sekelas,” balas Petra.
“Eh, serius tidak sekelas? Iya kah?” tanya Miyu heboh.
“Iya, nggak apa-apa kok. Santai aja,” seolah Petra tidak mau membuat teman-temannya sedih.
“Eh, iya dong kita gak sekelas sama Petra. Padahal kita berempat sekelas. Ya…nggak lengkap dong kelompok kita ☹. Kasian banget weh, Petra kepisah sendiri gitu😭” Miyu tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
“Mau gimana lagi, bukan gue yang bagi kelasnya?” Petra mencoba menenangkan teman-temannya.
“Nggak apa-apa, kita masi bisa ketemuan di jam istirahat. Iya, pas istirahat makan di meja gue lagi aja kayak biasa,” Emma mencoba menghibur.
Sakit hati? Tentu saja aku sakit hati. Keempat sahabatku berada di kelas yang sama sedangkan aku? Terpisah sendiri dari mereka. Mereka berada di kelas 12 IPA 1 sedangkan aku berada di 12 IPA 3. Ingin rasanya menyogok kepala sekolah agar dipindahkan kelasnya, tapi mana mungkin aku berani. Tapi ya, tidak apa-apa. Kami berlima sudah berjanji akan tetap bersama-sama meski terpisah.
Ya, setidaknya itulah yang kuharapkan..
Semester baru sudah dimulai, aku dan keempat temanku berada di kelas yang terpisah. Aku yang mudah bergaul dengan mudah punya teman di kelas baruku. Aku juga sering berkumpul di 12 IPA 1. Hari-hari seperti ini terus berulang, dan tanpa aku sadari, Hans berada di antara kami berlima. Hans adalah seorang murid yang ada di kelas 12 IPA 1. Karena untuk membuat 1 kelompok normalnya perlu 5 orang, keempat temanku mengajak Hans. Aku yang positif hanya berpikir “Semakin banyak orang semakin seru!” Hingga akhirnya, entah mengapa, group chat kami berlima seketika terasa tidak berpenghuni.
Aku tidak tahu mengapa, seketika mereka terasa jauh. Meski selalu bersama di jam istirahat, aku merasa jauh dari mereka. Hari demi hari, minggu demi minggu. Aku dan mereka sudah terlihat seperti orang asing. Rasa tidaktahuku tentu saja ingin mengetahui apa yang terjadi.
“Kalian, jadi deket sama Hans ya sekarang.” Tanyaku. Mereka berempat terdiam, Saling memandangi satu sama lain. Hati nuraniku ingin sekali mereka mengatakan bahwa aku lebih dekat dengan mereka dibandingkan Hans.
“Kok pada diam? Kalian berlima beneran jadi dekat ya haha. Dibandingkan sama gue.”
Raut wajahku mulai berubah. “Tolong… salah satu dari kalian tolong balas pernyataanku.” Begitulah suaraku di benakku.
“Pet,” Emma berbicara. “Mulai sekarang kita gak perlu ngumpul bareng lagi ya.”
“Eh? Kenapa?”
“Gue udah dengar dari Hans. Semua tentang lo. Semua hal yang udah lo lakukan. Padahal selama ini gue kira lo nggak sembunyikan apa-apa dari gue nggak. Dari kita berempat.”
“Sorry Pet, kalo selama ini kita diam-diam saja. Habisnya kita benar-benar jadi nggak nyaman buat ngomong sama lu,” balas Miyu. Evan dan Tobi hanya diam saja, mata mereka menghindariku.
“Ah, ternyata ini rasanya diomongin di belakang sama orang yang kupercaya.”
“Oh.. Oke. Gue nggak tahu kenapa kalian lebih percaya sama orang baru-Sorry, maksudnya Hans, daripada sama orang yang udah bareng kalian sejak kelas 11 hahaha. Makasih buat selama ini ya.” Aku tersenyum kepada mereka. Aku juga yakin mereka bisa melihat senyum yang kupaksakan ini. Aku kemudian berjalan keluar dari kelas IPA 1. Di depan pintu, aku berpapasan dengan Hans. Aku berpura-pura tidak melihatnya, meski aku tahu dia sebenarnya sadar ada aku di sana. Aku berbalik selama beberapa detik. Aku melihat Emma, Miyu, Evan, Tobi dan Hans.
“Mereka terlihat bahagia.”
Aku kembali ke kelasku. Semua orang yang melihatku, meski hanya sekilas, pasti tahu bahwa ada yang baru saja terjadi. Aku tetap berjalan kembali ke mejaku, melipat kedua tanganku, mengistirahatkan kepalaku di atasnya dan menghela napas. Aku berusaha untuk menahan air mataku sebisa mungkin. Teman-teman sekelasku tidak ada yang berani mengajakku berbicara, mungkin karena mereka tahu aku sedang tidak baik-baik saja.
Akhirnya pelajaran yang berada di jam pelajaran terakhir telah usai. Semua teman sekelasku pergi keluar kelas seperti biasanya. Tapi ada satu hal yang berbeda kali ini.
“Woi, lu nggak pulang?”
Aku mengangkat kepalaku. Tatapanku bertemu dengan teman sekelasku yang duduk di depanku. Orang yang dikenal dengan kecuekan dan rasa tidak ingin tahunya, Devin.
“Mm, nggak dulu,” balasku menghindari tatapannya. Ada jeda sebelum dia bertanya,
“Lu nggak apa-apa?”
“Apa gue harus cerita ke lu?” kataku sambil tertawa kecil.
“Ya, terserah lu lah,” balasnya cuek.
Setelah kelas mulai kosong, aku memutuskan untuk menceritakannya. Mulai dari asal muasal pertemananku dengan Emma, Miyu, Evan dan Tobi, hingga munculnya Hans yang tiba-tiba. Juga alasanku menjadi no energy seperti sekarang. Jujur kubilang, Devin sebenarnya tidak secuek yang orang lain katakan. Kalau dia secuek itu, dia tidak akan menanyakan apa yang terjadi denganku kan?
“Jadi mereka tiba-tiba ngejauhin lu karena mereka kemakan omongan Hans, gitu?” Aku merensponsnya dengan mengangguk.
“Padahal gue sendiri nggak tahu, emangnya gue ngapain sampe mereka jadi nggak nyaman sama gue. Saking bingungnya, gue mikirin gue ngapain. Kenapa hal ini bisa terjadi ke gue? Emangnya gue melakukan apa sampai dapat karma ini. Gue ingin menghilang aja rasanya. Gue capek jadi beban semua orang.”
“Lu rela mengakhiri hidup lu hanya karena masalah pertemanan begini?” tanya Devin. Nada suaranya terdengar serius. “
Apa dia marah?’ aku tertunduk diam, mataku menghadap lantai dan tidak berani merespons perkataannya.
“Gue tau gue bukan siapa-siapa, tapi menurut gue ini bukan masalah yang bisa lu selesakan dengan cara mengakhiri hidup lu sendiri. Vas bunga yang udah pecah, meski direkatkan lagi pakai lem, gak bakal jadi vas bunga yang sempurna lagi. Lu harus tahu itu. Lu juga harus tahu bahwa kehilangan teman itu bukan berarti kiamat. Lu tetap harus bisa melihat dan maju ke depan meski lu sendirian. Dan satu lagi, jangan menganggap diri lu sebagai beban.”
Aku kembali terdiam, tapi kali ini pandanganku lurus kepadanya. Sedikit shock dengan perkataannya.
“Gue gak nyangka kalau lu itu sebenarnya bijak.”
“Nggak gitu konsepnya,” jawabnya ketus.
Aku tertawa kecil untuk meringankan suasana. Apa aku baru saja melihat Devin senyum? Mungkin aku hanya berhalusinasi. Setelah itu aku berterima kasih kepada Devin. Aku juga minta maaf karena sudah membuatnya pulang terlambat. Tapi dia malah dengan sok keren membalasku. “Gapapa, gue cuma jadi pulang terlambat doang.” Padahal aslinya, dia ditinggal oleh jemputannya.
Di malam hari, aku kembali merenungkan kata-kata yang Devin katakan kepadaku. Aku ingin meluruskan semua ini, sayangnya aku tidak punya keberanian untuk mengatakan hal ini langsung kepada mereka.
“Oh iya, kenapa gak gue buat surat aja?”
Dengan itu, aku menulis sebuah surat yang kukhususkan untuk mereka berempat.
Keesokan paginya, aku bangun lebih pagi untuk memberikan surat ini kepada mereka. Namun, karena mereka belum sampai ke sekolah, aku memutuskan untuk menaruhnya di laci meja milik Emma.
Sejak hari itu, aku merasa lebih tenang. Di hari yang sama dengan hari saat aku memberikan surat itu, aku mentraktir Devin makanan kantin sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantuku menyelesaikan masalah ini. Tidak ada satupun orang yang rugi. Aku sekarang memiliki kehidupan baru, teman baru, dan sahabat yang baru juga.
“……….i”
“..…..oi”
“.….oi”
“..woi”
“Woi.”
Aku terbangun. Ternyata aku tertidur di atas mejaku di dalam kelas. Apakah semua yang terjadi tadi hanyalah mimpi? Aku seketika merasa panik dan langsung mengangkat kepalaku. Di depanku, aku mendapati sosok yang tidak asing.
“Lu mau tidur sampe kapan? Ayo ke lab sekarang. Di kelas sisa lu doang.”
Devin.
“Kenapa lu senyam-senyum sendiri gitu? Kayak orang aneh aja.” Tanyanya bingung.
“Hahaha, sorry-sorry. Tungguin gue bentar, gue ambil buku praktikumnya dulu.”
***
Informasi Terkini seputar sekolah kristen BPK PENABUR
Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur