CERPEN BY MELKA HENELY | Lomba Cerpen Festival Sahabat Karakter Kota Cirebon 2022 (FINALIS)
STUDENT WORK - 30 March 2022
Hidup Cakra Sebagai Pedagang
Apakah dunia itu adil? Dengan segala perbedaan kasta dan status ekonomi setiap individu, apakah masing-masing orang memiliki masalah yang dapat dianggap setara dengan yang lainnya?
Hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang tak pernah meninggalkan pikiran seorang pedagang yang jatuh ke dalam lubang kemiskinan setelah peninggalan ayahnya.
Sebagai putra tunggal dalam keluarganya, ia menjadi tulang punggung setelah kepergian ayahnya 2 tahun yang lalu. Dengan Ibunya yang terbaring sakit di rumah, setelah melariskan dagangannya ia harus mendaki gunung untuk mencari tanaman herbal demi menyembuhkan Ibunya, sementara adik perempuannya menjaganya di rumah.
Cakra merupakan sosok yang cukup ternama di antara pedagang lainnya. Ia selalu membantu pedagang lainnya membereskan tenda setelah matahari terbenam, yang membuatnya dikenal sebagai pribadi yang ringan tangan.
Walau menjalani hal-hal yang dapat dikatakan melelahkan tiap harinya, ia tetap tangguh. Ia yakin yakni pada suatu hari segala masalahnya akan diringankan, meski tidak secara langsung.
Cahaya mentari yang cemerlang pada siang itu seakan menembus permukaan kulit. Bahkan tenda di atas kepalanya tak sanggup menahan curahan panas.
“Nak, apakah kamu akan baik-baik saja? Cuaca hari ini sangat panas,” celetuk nenek yang dagangannya berdampingan dengan miliknya.
Cakra tersenyum haru pada perkataan nenek itu, memikirkan nasib sebaliknya, “Nenek tidak perlu mengkhawatirkanku. Lagipula, aku sudah menyiapkan sebuah topi untuk menghalangi sinar matahari,”
“Syukurlah kalau begitu. Ah... sayang sekali nenek meninggalkan topi nenek di rumah,” sahut nenek yang kini telah mengambil posisi duduk.
Mendengar hal itu, Cakra sigap berdiri menghampiri nenek itu, menyodorkan topi yang tadinya ia kenakan, “Ini topinya nenek pakai saja,”
“Terima kasih banyak, Nak,” nenek itu tersenyum lembut, “Kebaikanmu pasti akan dibalas,”
Tak terasa senja telah tiba, Cakra segera membereskan dagangannya dan menghampiri nenek untuk menurunkan tenda dagangannya. Namun, belum selesai dalam membereskan dagangan nenek itu, seorang lelaki yang tinggi dan gagah menghampiri mereka beserta dua lelaki yang mengenakan seragam.
Lelaki itu tak melontarkan kata apapun, melainkan dua lelaki berseragam yang berdiri pada masing-masing sisinya yang membuka mulut.
“Mulai besok anda tidak diperkenankan untuk berdagang di sepanjang jalan ini,” Lelaki berambut coklat pada sisi kanan lelaki berujar dengan lantang, jari telunjuknya menunjuk pada tenda nenek dan miliknya.
Cakra menghentikan aktivitasnya lalu berjalan mendekati nenek itu, tangan kanannya ditempatkan di depan nenek itu, seolah menghalanginya dari lelaki-lelaki tersebut, “Mengapa engkau datang ke sini dan memerintah kami tanpa alasan yang jelas? Kami sudah berdagang di sini sejak lama, bahkan sudah dua tahun,”
“Jangan mengelak! Ini semua perintah langsung dari Tuan Muda,” seru lelaki pada sisi kiri lelaki tinggi itu.
Cakra menoleh ke belakang dan melihat nenek yang sudah gemetar di tempat, ia segera menempatkan tangannya pada punggung nenek, “Nenek janganlah khawatir. Aku akan berusaha untuk membuat mereka pergi. Lagipula, kita telah membayar sewa untuk berdagang di sini,”
Namun, respon nenek itu di luar dugaan Cakra. Nenek itu memohonnya untuk mendengarkan perkataan para lelaki itu dan pergi secepatnya. Tetapi, ia ragu akan permohonan nenek. Apabila ia turuti, di mana akan ia lanjut berdagang? Ia masih perlu membiayai kehidupan Ibu, adik perempuannya, dan ia sendiri. Bagaimana jika ia tak menemukan tempat lain untuk berdagang? Bagaimana akan nasib keluarganya?
Cakra kembali menghadap lelaki di depannya lalu berlutut, “Kami memohon. Sungguh, saya memiliki keluarga di rumah,”
Lelaki pada sisi kanan menendang meja kayu milik nenek itu hingga jatuh, “Anda jangan banyak bertingkah! Segera tinggalkan tempat ini. Tuan Muda tidak ingin pedagang-pedagang seperti kalian mengotori jalannya,”
“Batas kalian hanya hingga malam ini. Dalam satu jam, saya harap anda sudah meninggalkan tempat ini, serta membawa sampahmu,” ia menginjak kardus kecil milik nenek yang berisi sayuran, “Keluar dari jalan ini.”
Melihat tingkahnya yang begitu kasar, Cakra segera bangun dari posisinya dan berjalan menuju lelaki tersebut, namun, nenek menarik pergelangan tangannya dan berbisik, “Sudahlah, Nak. Tidak ada gunanya kita mengelak. Mari kita mulai berberes saja,”
Dengan berat hati ia menuruti ajakan nenek.
Setelah selesai membereskan tenda miliknya sendiri, ia memutuskan untuk segera pulang setelah mengantar nenek ke rumahnya dari pada rutinitas biasanya. Karena kemarin, ia telah menemukan jumlah tanaman herbal yang cukup untuk beberapa hari kedepan. Cakra yakin kebutuhan obat Ibunya tidak akan menjadi masalah untuk sementara. Ia hanya berharap bahwa kebutuhan sehari-hari keluarganya akan tercukupi walaupun dengan perdagangannya yang terhentikan.
Esok pagi hari telah tiba, Cakra menerima kabar dari temannya bahwa jalan di mana ia biasanya berdagang telah rata dengan tanah tanpa sebab. Ia yakin itu merupakan perilaku sang Tuan Muda dan anak-anaknya. Jauh di lubuk hatinya ia tahu, segala perbuatan yang dilakukan Tuan Muda sepenuhnya merupakan haknya. Tetapi, yang membuat api amarahnya membara yaitu karena perilaku tiga lelaki dari semalam yang mengusirnya dengan sangat kasar, bahkan sampai merusak properti dagang nenek itu hingga menyebutnya sampah. Pada akhirnya perkataan nenek itu benar. Mereka tidak sanggup mengelak. Apapun yang ia lakukan, sudah jelas terdapat perbedaan status yang tak dapat ia bantah.
Cakra melanjutkan hari-harinya dengan berjualan buah-buahan di depan rumahnya. Walau hanya sekitar tiga sampai empat pembeli saja yang datang untuk membeli tiap harinya, setidaknya ia mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memberi makan untuk Ibu dan adiknya.
Siang itu, terdapat ketok dan gedoran pada pintu rumahnya. Ketok pada pintu itu terdengar sampai kebun di belakang rumahnya yang berarti itu sangat kencang, Cakra sempat merasa khawatir pintunya akan roboh karena terbuat dari kayu tua yang sudah rapuh.
Cakra gegas berlari meninggalkan tanamannya dan menghampiri pintu rumahnya. Ia membeku saat melihat seragam dua lelaki yang berdiri di depan rumahnya sama persis dengan seragam dua lelaki yang ia temui pada sore itu. “Ada apa?” tanya Cakra sembari memainkan jari-jarinya.
“Anda telah diundang ke Istana Putih,” dua lelaki berseragam itu menjawab serentak.
Cakra terkesiap, “Oleh siapa bila aku boleh bertanya?”
“Anda telah diundang secara langsung oleh Tuan terhormat. Dimohon untuk segera menerima undangan, ini,” balas salah satu dari mereka.
Belum sempat Cakra mengeluarkan perkataan lain, ia sudah ditarik ke dalam kereta kuda oleh kedua lelaki tersebut.
Dari dalam kereta ia memandang ke luar, mengintip melalui jendela kecil di sampingnya. Sesungguhnya ia hanya ingin menghindari tatapan tajam dari salah satu lelaki yang menyeretnya sebelumnya. Walaupun pemandangan sepanjang jalan sangat indah, rasa berdegup kencang jantungnya tak dapat diabaikan.
Sesampainya di istana, ia dapat melihat puluhan orang yang berdiri berbaris dan menunduk hormat. Satu pun dari mereka tak berkutik dari posisinya. Cakra memutuskan untuk berjalan lebih cepat dari biasanya agar dapat segera menghindar dari orang banyak yang mengelilingi aspalan di mana ia berjalan.
“Selamat datang di Istana Putih,” seorang lelaki tua yang mengenakan kacamata menyambutnya, “Izinkan saya untuk membawa anda kepada Tuan terhormat.”
“Terima kasih, Pak,” Cakra mengikuti dari belakang langkah-langkah pria yang memakai pakaian formal itu.
Tampaknya mereka sudah sampai di destinasi mereka. Di hadapannya terdapat sebuah pintu berwarna putih. Pintu tersebut sangatlah besar, ditambah dengan dekorasi permata dalam bermacam ukuran dan warna yang menempel pada permukaan marbel pintu tersebut.
Pria tua tersebut mengetok pada pintu dan terdengar jelas suara bariton menjawab. “Silahkan masuk, tamu terhormat,” ucap pria itu sebelum membukakan pintu untuk Cakra.
Apabila pintu ruangan ini besar, bisa disebut ruangan ini raksasa. Cakra merasa gugup karena sesungguhnya ia masih tidak tahu alasan mengapa ia diundang, dan sekarang ia berdiri di depan seorang lelaki berwibawa yang mengenakan pakaian formal berwarna putih. Siapakah orang ini?
“Selamat datang, Cakra,” lelaki itu memulai.
“Terima kasih... Pak,” ia menundukkan kepalanya.
Pria tua di sampingnya menyenggolnya dan berbisik membenarkannya, “Tuan,”
“Terima kasih, Tuan,” Cakra mengulang.
“Saya harap anda menikmati kunjungan anda sejauh ini,” lelaki itu tersenyum lebar.
Cakra menundukkan kepalanya sekali lagi, tangan kanan menyentuh dadanya, “Saya sangat bersyukur atas kesempatan ini, Tuan,”
“Telah saya dengar bahwa anda adalah seorang pedagang, apakah itu benar?” Tuan itu berjalan mendekat ke hadapannya.
“Benar. Saya seorang pedagang sederhana, Tuan,” ujar Cakra dengan menutup kedua matanya.
“Cakra, atas nama keluarga kerajaan, saya mengucapkan terima kasih atas perbuatan baikmu. Ibu saya telah menceritakan semua hal yang terjadi selama anda berdagang,” Tuan itu menundukkan kepalanya, “Terimalah hadiah yang sederhana ini atas ucapan terima kasih kami.”
Tuan kemudian meminta lelaki yang memandunya untuk membawa hadiahnya kemari.
Cakra tersentak saat sang Tuan membuka hadiah tersebut. Di dalamnya terdapat sejumlah uang dan beragam permata yang berkelap-kelip. Ia mencubit kulit pada tangannya untuk memastikan bahwa ia tidak bermimpi.
“Tuan, saya tidak bisa menerima semua ini. Ini terlalu murah hati,” Ia melambaikan tangan dan menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“Anda terlalu rendah hati. Semua ini merupakan ucapan terima kasih dari Ratu sendiri atas perlakuan baikmu padanya selama ini. Terimalah,” Tuan tertawa.
Dengan pernyataan itu, akhirnya Cakra mengerti. Ratu yang Tuan ini maksud adalah sang nenek yang selama ini berdagang berdampingan dengannya. Cakra tidak pernah menyangka bahwa nenek itu merupakan bagian dari keluarga kerajaan.
Mungkin karena selama ini ia telah menunduk hormat kepada Tuan di hadapannya, ia tidak memiliki kesempatan untuk memperhatikan wajah sang Tuan. Ia menoleh sejenak dan mempelajari wajah Tuan terhormat. Hanya pada saat itu ia sadar, bahwa sang Tuan terhormat merupakan lelaki yang tak berbicara pada sore itu.
Cakra berlutut dan menundukkan kepalanya kepada Tuan di hadapannya dan berterima kasih atas kebaikannya dan keluarganya. Ia bersumpah untuk tidak akan melupakan kebaikan keluarga kerajaan.
Informasi Terkini seputar sekolah kristen BPK PENABUR
Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur