Perang Diponegoro.

BERITA LAINNYA - 04 December 2024

 

Pangeran Diponegoro dilahirkan pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III. Meskipun ia terlahir bangsawan, Diponegoro lebih suka tinggal di luar keraton dan menjalani kehidupan yang sederhana. Sejak masih muda, pendidikan agama Pangeran Diponegoro sudah kuat dan membentuk karakternya sebagai seorang pemimpin yang religius dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral. Ia sering menghabiskan banyak waktu di desa Tegalrejo, tempat tinggal neneknya yang bernama Ratu Ageng. Disana Diponegoro menjadi sosok yang disegani banyak orang karena kebijaksanaannya dan kedekatannya dengan masyarakat sekitar.

 

Ramalan Sultan Hamengku Buwono I menyebutkan bahwa Diponegoro akan mendatangkan kerusakan lebih besar bagi Belanda daripada Perang Giyanti, tetapi hasilnya hanya diketahui oleh Yang Mahakuasa. Anekdot lain menunjukkan kedekatan Diponegoro dengan Sultan Hamengku Buwono I, yang menginspirasi Sang Pangeran selama Perang Jawa. Diponegoro juga diyakini mengidentifikasi diri dengan keturunan penguasa Mataram yang berusaha melawan Belanda, sesuai dengan ramalan Sultan Agung. Kegagalannya melawan Belanda juga diprediksi dalam mimpi misteriusnya di Parangkusumo. Semua ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang perjuangan Diponegoro melawan penjajah Belanda.

 

Meskipun para leluhur laki-laki Diponegoro berarti bagi dirinya, namun kerabat perempuannya lebih penting dalam membentuk watak dan pandangan hidupnya. Diponegoro memiliki akar pandangan hidup dalam agama dan komunitas santri di Jawa Tengah. Ia dibesarkan di bawah para perempuan kuat, menyumbang pada aspek feminin wataknya, seperti kepekaan dan intuisi. Diponegoro memiliki hubungan darah dengan kiai terkemuka di Jawa melalui anggota keluarganya. Ibu Diponegoro adalah keturunan Kyai Ageng Prampelan dan Sunan Ngampel Denta. Dia lahir di sebuah desa bebas pajak dekat Tembayat. 

 

Diponegoro memiliki hubungan emosional yang kuat dengan ibunya, meskipun tidak banyak disebut dalam autobiografinya. Ibunya menolak untuk bergabung dengan Diponegoro di pengasingan karena usia tua. Ibunya meninggal pada 1852 di Yogyakarta. Kerabat perempuan lain yang mempengaruhi Diponegoro adalah neneknya, Ratu Kedaton, keturunan Panembahan Cakraningrat II dari Pamekasan, Madura. Ratu Kedaton memiliki jiwa Madura kuat yang tidak dimengerti oleh Sultan Hamengku Buwono II. Hubungan perkawinan Ratu Kedaton dengan sultan Yogya sangat bergolak. Pengaruh darah Madura dari Ratu Kedaton memberikan kontribusi pada sifat berubah-ubah dan pemarah Diponegoro. Ini mencerminkan kehidupan rumit Diponegoro yang mempengaruhi kepribadiannya selama Perang Jawa.

3.2 Perang Diponegoro

Kondisi politik pada masa itu membuat Diponegoro menolak menjadi sultan ketika ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, wafat. Kesultanan Yogyakarta berada di bawah tekanan Belanda yang telah memperkuat kendali mereka di wilayah setelah Perjanjian Giyanti. Belanda mencampur tangani urusan internal kerajaan, terutama dalam hal politik dan pengelolaan tanah, Hal tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan di mata masyarakat Jawa. Selain itu, Belanda juga membangun jalan yang melewati tanah leluhurnya tanpa izin. Pembangunan ini dianggap sebagai penghinaan terhadap keluarga Diponegoro karena tanah tersebut memiliki nilai spiritual baginya.

Pada tahun 1825, perang pecah setelah konflik terjadi antara Diponegoro dan pihak Belanda. Kontroversi dimulai ketika perbaikan jalan tanpa pemberitahuan di sekitar Yogya menyebabkan ketidaknyamanan. Patih Danurejo, yang tidak memberitahu Diponegoro tentang rencana ini, memicu pertikaian yang berujung pada perseteruan sengit antara pendukung Diponegoro dan patih. Diponegoro pun memutuskan untuk melawan Belanda, mempersiapkan istri, anak-anak, dan pekerjanya untuk mengungsi ke Selarong. 

 

Pangeran menandai dimulainya perang dengan mengganti patok jalan dengan tombak sebagai isyarat perlawanan. Smissaert, residen Belanda, takut akan situasi yang memanas, mengusulkan agar Pangeran datang ke Yogya. Namun, para pendukung Pangeran menolak izin tersebut, mengingat risiko bahaya yang dihadapi oleh Pangeran dan masyarakat Eropa jika terjadi tindakan berbahaya di Yogya. 

 

Terdapat upaya-upaya misi untuk menangkap Diponegoro dan Mangkubumi sebelum perang kian meluas. Namun, pasukan Diponegoro yang siap-siap berhasil mundur ke Selarong setelah pertempuran sengit dengan Belanda. Diponegoro dan Mangkubumi kemudian menetapkan markas di Selarong, dimulailah perang Jawa dengan pembentukan Genderang Perang pada 21 Juli 1825. Dengan pertikaian terbuka yang terjadi, Pangeran beserta pengikutnya berhasil menghindari kejaran pasukan Belanda, melarikan diri dengan cerdik melalui jalan tikus belum tergenang air akibat cuaca yang tak menentu.

 

Pada kedatangan Diponegoro dan Mangkubumi di Selarong, para petani telah siap untuk berperang dengan menggunakan sumber daya tradisional dan persenjataan seperti ketapel, gada, tombak bambu yang diruncingkan, serta senjata api yang didapat dari Belanda. Dana perang didapatkan dari sumbangan emas, permata, dan uang dari para pangeran dan priyayi serta dari hasil rampasan awal. Pasukan Diponegoro menggunakan taktik bersembunyi dan menyergap musuh dengan tangan keterampilan lokal desa dan menggunakan strategi penghadangan jalur komunikasi musuh. 

 

Penduduk desa yang berdekatan ikut bergabung dalam perang dengan mengganggu pasukan Belanda yang bergerak cepat. Pusat industri senjata terletak di Kota Gede, yang didukung oleh kalang lokal tukang besi. Keris merupakan senjata utama dalam melawan Belanda, digunakan untuk melawan kavaleri Belanda. Kaum pribumi terlibat dengan berbekal semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” yang berarti "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati".

 

Pendanaan perang Diponegoro awalnya mengandalkan sumber daya tradisional seperti sumbangan emas, permata dan uang, serta persenjataan yang mencakup senjata tradisional dan senjata api yang didapat dari Belanda. Pasukan Diponegoro menggunakan taktik bersembunyi dan penghadangan untuk melawan pasukan Belanda dengan bantuan penduduk desa yang berdekatan serta menggunakan pusat industri senjata di Kota Gede. 

 

Kelompok kedua yang mendukung Pangeran Diponegoro di Selarong adalah golongan agama atau kaum santri. Sekitar 200 laki-laki dan perempuan santri bergabung dengan Diponegoro. Di antara mereka, terdapat beberapa orang Arab dan peranakan Tionghoa, serta anggota keluarga besar Kyai Mojo dari dua pesantren di Mojo dan Baderan dekat Delanggu. Ada 22 orang yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji dan beberapa pemuka agama. Tidak semua kiai adalah pemimpin agama, beberapa di antaranya ahli ilmu gaib. Diponegoro dipercaya memiliki kekuatan magis, seperti kemampuan terbang dan mempengaruhi cuaca, sementara banyak santri mencukur rambut dan mengenakan busana ulama saat berperang.

 

Mereka membakar semangat menggunakan ayat-ayat suci Al-Quran selama pertempuran, memperkuat persepsi perang Jawa sebagai perang agama melawan kafir. Pangeran Diponegoro diakui sebagai pemimpin agama oleh para pendukungnya, membuat penyelesaian damai dengan memberikan kerajaan terpisah tidak mungkin. Konflik dipandang sebagai perang sabil atau perang suci, mengancam otoritas dunia Kristen di Tanah Jawa.

 

Perang Diponegoro adalah pemberontakan kaum tani yang memadukan taktik jacquerie, gerilya, dan operasi militer. Pada awal perang, pasukan Diponegoro banyak memenangkan pertempuran dan mendapat banyak dukungan dari rakyat. Namun, Belanda pun mulai menyadari bahwa perang gerilya tidak dapat dihadapi dengan taktik militer biasa. Situasi ini membuat Belanda harus merevisi taktik perang mereka untuk menghadapi pertempuran. Belanda pun mulai mengubah strategi mereka dengan membangun benteng-benteng kecil sepanjang wilayah Jawa untuk membatasi pergerakan pasukan Diponegoro.

 

Belanda pada awalnya berjuang keras untuk mengalahkan pasukan Diponegoro yang menggunakan taktik dan strategi berbeda serta mendapat dukungan luas dari masyarakat. Belanda membutuhkan waktu sedikitnya dua tahun untuk menemukan strategi yang tepat, yakni kombinasi sistem benteng darurat (fortstelsel) dengan pasukan bergerak cepat dalam jumlah besar. Sistem benteng ini diperkenalkan oleh Cochius pada awal perang. Pada dasarnya pasukan Belanda akan membangun bangunan sementara di gunung atau tempat yang lain mempertahankannya, membentenginya dengan batang kelapa dan mengangkat senjata. Dengan sistem ini, Belanda dapat dengan mudah meninggalkannya dan membangun gedung-gedung baru di tempat yang paling membutuhkannya. Pada akhir perang, kurang lebih 258 benteng telah didirikan, termasuk 90 benteng pada tahun 1828. Sistem benteng dan dukungan pasukan yang cepat menjadi kunci keberhasilan Belanda dalam mengalahkan pasukan Diponegoro.

 

3.3 Akhir Perang Diponegoro

Pada bulan September 1829, terlihat jelas bahwa pasukan Diponegoro mengalami kekalahan. Diponegoro pun mengatakan kepada Mangkubumi bahwa ia tidak punya pilihan selain menjadi syahid. Beberapa panglimanya sudah menyerah atau ditangkap Belanda, sehingga loyalisnya hanya tersisa sedikit.

Namun, sang pangeran dan pendukungnya tidak menyerah. Pangeran melanjutkan perang gerilyanya selama 3 bulan sejak November 1829, keluar masuk hutan, sehingga terhindar dari penganiayaan Belanda. Belanda bahkan rela membayar 20.000 gulden kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Namun Diponegoro dan pendukungnya masih berhasil lolos.

Akhirnya, Belanda memutuskan untuk menjebak Pangeran Diponegoro dengan jalan perundingan. Dari pembicaraan antara keduanya didapat kesepakatan jika perundingan gagal, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya tidak akan ditangkap.

Pada bulan Februari hingga Maret 1830, Diponegoro mulai terbuka terhadap negosiasi dengan pihak Belanda. pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock mengundang Diponegoro untuk melakukan perundingan di Wisma Karesidenan Magelang. Namun Diponegoro justru ditangkap, dan De Kock menghianati kode etik perundingan. Diponegoro awalnya dikirim ke Semarang dan tinggal di kediaman Residen Semarang. Ia kemudian dikirim ke Batavia dan diasingkan di Stadhuis (kini Museum Sejarah Jakarta) mulai 8 April hingga 3 Mei 1830. Ia lalu diasingkan ke Manado selama 3 tahun, kemudian dipindahkan ke Makassar pada 1833 hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

3.4 Dampak Perang Diponegoro

Perang Diponegoro ini merupakan peristiwa pemberontakan terbesar masyarakat Jawa terhadap penguasa kolonial. Dampaknya dirasakan oleh sekitar 2.000.000 penduduk. Perang ini memakan korban lebih dari 200.000 jiwa dan merusak hingga sekitar seperempat dari seluruh areal pertanian yang ada. Untuk mencapai kemenangan, Belanda harus kehilangan 25 juta gulden setara dengan 2,2 miliar dollar AS saat ini.

Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III. Para Warok memiliki kemampuan perang yang sangat tangguh bagi Belanda. Maka dari itu untuk menghindari yang merugikan pihak Belanda, terjadi sebuah kesepakatan untuk di buatkanlah kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilitas penunjang seperti jalan beraspal, rel kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti Mobil, motor hingga sepeda angin berbagai merek, maka tidak heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda tua terbanyak berada di Ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.

 

Kesimpulan. 

Diponegoro menjadi sosok pemimpin yang memadukan nilai keagamaan, sosial, dan budaya dalam menggerakan perlawanan. Kebiasaan mampu berpikir kritis dan inisiatifnya untuk mengembangkan solusi baru dapat kita teladani. Ia menggunakan taktik gerilya yang memanfaatkan kondisi geografi Jawa. Mereka mengikat musuh dengan cara yang melelahkan karena perang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dampak dari perang tersebut adalah pihak Belanda mendapatkan kerugian besar baik secara finansial maupun militer. Namun setelah Belanda menggunakan strategi benteng stelsel dan Diponegoro mengalami kekalahan, masyarakat juga Jawa mendapatkan dampak yang Panjang, yaitu penguatan cengkeraman kolonial di Jawa dan pengetatan pengawasan terhadap kerajaan.

 

Untuk lebih memahami Perang Diponegoro, kita sebaiknya melakukan penelitian tambahan tentang bagaimana perang ini mempengaruhi masyarakat dan ekonomi pada masa itu. Selain itu, penting untuk memasukkan materi tentang Perang Diponegoro dalam pelajaran sekolah dan menyelenggarakan program edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai peran penting Pangeran Diponegoro. Dokumen sejarah tentang Perang Diponegoro juga sebaiknya didigitalisasi agar mudah diakses oleh semua orang. Mendirikan museum atau monumen yang memperingati Perang Diponegoro bisa membantu melestarikan sejarah dan mengenang jasa Pangeran Diponegoro. Terakhir, bekerja sama dengan peneliti dari negara lain bisa memberikan perspektif baru dan memperkaya pemahaman kita tentang Perang Diponegoro dalam konteks sejarah dunia.

 

 

 

2.1 Kajian Pustaka

Perang Diponegoro atau yang dikenal juga sebagai Perang Jawa (1825-1830) adalah salah satu perang besar dan berlangsung selama lima tahun yang terjadi antara Pangeran Diponegoro dan masyarakat pribumi dengan pemerintah Belanda. Perang ini terjadi akibat pemerintah Belanda campur tangan urusan kerajaan dan membuat kebijakan yang menyusahkan rakyat seperti penerapan pajak, kerja paksa, dan bea cukai. Pangeran Diponegoro berusaha membebaskan rakyat dari penderitaan dengan mengangkat senjata. Dalam 2 tahun perang, Pangeran Diponegoro menggunakan taktik gerilya dan mendapatkan kemenangan. Namun pada 3 tahun terakhir, pasukan Diponegoro mulai mengalami kekalahan karena Belanda telah menemukan strategi baru yaitu strategi Benteng Stelsel yang ternyata dapat memukul mundur pasukan Diponegoro. Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro sampai akhirnya Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang. 

Akibat perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Pemerintah Belanda, ada beberapa pengaruh bagi kehidupan masyarakat Jawa. Salah satunya adalah kekuasaan raja berada di bawah kendali Belanda yang membuat Belanda dengan leluasa memerintah raja untuk menerapkan kebijakan yang membawa keuntungan bagi Belanda dan penderitaan bagi rakyat. Keadaan ekonomi rakyat juga sangat memprihatinkan karena rakyat dibebankan dengan berbagai macam pajak. 

Peter B.R Carey menyusun buku yang berjudul “Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)”. Carey menyimpulkan, misalnya, bahwa Perang Diponegoro adalah “peristiwa pemberontakan pertama yang terjadi di salah satu keraton di Jawa Tengah bagian selatan, yang pecah dengan akar persoalan yang terletak pada masalah penderitaan sosial dan ekonomi, dan bukan pada ambisi dinasti para elite istana”. Dengan kesimpulan ini kita bisa lebih memahami kebangkitan nasionalisme Indonesia di abad ke-20 yang diikuti secara luas oleh rakyat, bukan kalangan elite, di bawah penjajahan.

Menurut Saleh A. Djamhari, dosen sejarah Universitas Indonesia, dalam kurun 1825-1826, unggul jumlah pasukan, Diponegoro mengandalkan taktik ofensif. Namun, setelah pertempuran di Gawok, strategi ini tak lagi dipertahankan. Sebaliknya, karena jumlah pasukannya terbatas Jenderal de Kock mengunggulkan strategi mobilitas melalui operasi pengejaran. Strategi ini berakibat fatal. Banyak prajuritnya tewas; bukan karena bertempur tapi kelelahan, sakit karena epidemi, cuaca  buruk, dan medan yang berat. “Berdasarkan pengalaman tersebut pada 1827 Jenderal de Kock memperkenalkan strategi baru yang dikenal dengan Stelsel Bentang,” kata Saleh dalam diskusi bukunya Strategi Menjinakan Diponegoro, Stelsel Bentang 1827-1830 di Freedom Institute, Jakarta.

Menurut Haris Azhar, Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1925 – 1930 itu sebenarnya terjadi karena korupsi. Selama hampir 200 tahun sejak Pangeran Diponegoro menampar patih karena korupsi penyewaan tanah, isu korupsi masih saja terus ada dan belum ada solusi.

 

tempo.co dan Kompas.com 

 

Tags:

Informasi Terkini seputar sekolah kristen BPK PENABUR

Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur

Berita BPK PENABUR Jakarta - 19 May 2020
PELEPASAN SISWA ANGKATAN X
Berita BPK PENABUR Jakarta - 19 August 2021
Countdown AMAZING BENEFIT- 2 Days to go
Countdown AMAZING BENEFIT- 2 Days to go
Berita BPK PENABUR Jakarta - 20 August 2021
Countdown AMAZING BENEFIT- 1 Days to go
Countdown AMAZING BENEFIT- 1 Days to go
Berita BPK PENABUR Jakarta - 21 May 2020
LIBUR Kenaikan Isa Almasih
Berita BPK PENABUR Jakarta - 30 May 2020
Juara I Jurusan MIPA - Tahun 2020 - Kezia Alverta...
BERITA LAINNYA - 09 December 2021
Sulawesi Selatan : Tanah Eksotis yang Sarat Budaya
BERITA LAINNYA - 09 December 2021
Mengulik Keindahan Budaya Sulawesi Barat
Mengulik Keindahan Budaya Sulawesi Barat
BERITA LAINNYA - 09 December 2021
Budaya di Balik Kota Seribu Gereja
Budaya di Balik Kota Seribu Gereja
BERITA LAINNYA - 10 January 2022
Claustrophobia Mendadak di Kelas
Claustrophobia Mendadak di Kelas
BERITA LAINNYA - 17 January 2022
SATOR (SEBUAH DOA PALINDROM)
SATOR (SEBUAH DOA PALINDROM)
BERITA LAINNYA - 22 August 2023
DAILY REMINDER, 22 Agustus 2023
BERITA LAINNYA - 07 September 2023
Mau sukses, ternyata mindset amat penting lo, sim...
Mau sukses, ternyata mindset amat penting lo, sim...
BERITA LAINNYA - 11 September 2023
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut bagi...
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut bagi...
BERITA LAINNYA - 01 September 2023
Black Death: Waves of Death, belajar mengenal pan...
Black Death: Waves of Death..
BERITA LAINNYA - 02 September 2023
Kuliner Indonesia: Kelezatan yang Memikat Lidah D...
Kuliner Indonesia: Kelezatan yang Memikat Lidah D...
BERITA LAINNYA - 13 March 2024
“Funiculi Funicula”
BERITA LAINNYA - 15 March 2024
“Resensi Buku Goosebumps: Makhluk Mungil Pembawa ...
“Resensi Buku Goosebumps: Makhluk Mungil Pembawa ...
BERITA LAINNYA - 16 March 2024
Resensi Buku HUJAN: Tere Liye
Resensi Buku HUJAN: Tere Liye
BERITA LAINNYA - 17 March 2024
“Resensi Buku Keindahan Hidup”
“Resensi Buku Keindahan Hidup”
BERITA LAINNYA - 18 March 2024
Resensi Buku: "Koala Kumal" karya Raditya Dika
Resensi Buku: "Koala Kumal" karya Raditya Dika 
BERITA LAINNYA - 27 October 2024
Bapa Segala Terang
BERITA LAINNYA - 28 October 2024
Tuhan Selalu Ada
Daily Reminder
BERITA LAINNYA - 29 October 2024
Yang Tidak Mungkin Menjadi Mungkin Dalam Tuhan
Daily Reminder
BERITA LAINNYA - 30 October 2024
Berpasrah Dalam Tuhan
Daily Reminder
BERITA LAINNYA - 31 October 2024
Perlindungan Tuhan Itu Sempurna
Daily Reminder

Choose Your School

GO