Ibu itu Bukan Cuma Guru….
BERITA LAINNYA - 22 September 2021
Ibu itu Bukan Cuma Guru….
Tahun pelajaran 2006 /2007 dan tahun pelajaran 2007/2008, menjadi catatan spesial buatku. Setelah menyelesaikan masa pengabdianku yang lebih banyak berkutat dengan angka-angka sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Aku kembali menguatkan komitmenku untuk mendampingi para siswa secara maksimal. Menjadi konselor memiliki keasyikan tersendiri, terlebih mendampingi para remaja yang penuh dengan dinamika. Seperti tidak pernah ada habisnya mengikuti perkembangan mereka, penuh dengan gejolak emosi, keinginan yang banyak dan berganti-ganti. Emosi yang sering up and down gak menentu bahkan kadang tanpa sebab. Hari-hariku penuh dengan celotehan mereka yang kadang bergerombolan masuk ke ruang konselingku hanya sekedar mau didengar kejengkelan mereka terhadap seorang teman atau guru yang dianggap “aneh” atau hanya ingin bercerita ketika mereka jalan di mal berkenalan dengan cowok keren, minta nomor HP salah satu dari mereka. Kadang aku hanya perlu duduk selingkaran dengan mereka diruang konseling kelompok yang kutata dengan meja ala jepang melingkar, duduk diatas karpet. Hanya mendengar dan tertawa bersama mereka oleh cerita lucu yang mereka sampaikan dengan berapi-api. Saat yang berbeda, aku perlu menenangkan mereka oleh karena perasaan gelisah/takut. Kadangkala aku perlu bersikap tegas, ketika mereka dengan sengaja menghindari pembelajaran guru yang dianggap kurang menyenangkan.
Diantara mereka ada Nita anak yang cerdas, multi talent, kadang sangat percaya diri tetapi tiba-tiba bisa sangat rendah diri. Nita merasa tubuhnya yang subur cenderung gemuk membuatnya tidak disukai cowok. Sering ganti-ganti pola diet biar cepat kurus. Ketika berkurang berat badannya 1 – 3 kg, tumbuh obsesinya suatu saat nanti memenangkan kontes putri Indonesia. Kami sering berdiskusi dan membicarakan buku pengembangan kepribadian yang sudah lebih dulu dibacanya. The secret, salah satu buku yang pernah dibaca dan mengobsesinya untuk menempelkan gambar wanita cantik dan langsing di kamarnya untuk mewujudkan keinginannya menjadi langsing, pernah kami diskusikan. Menghadapi si cerdas ini, aku harus selangkah lebih maju.
Ada Steffi yang oleh teman-temannya dipanggil si”cantik”. Menurutku, Steffi bukan hanya cantik, kulitnya yang bersih dan penampilannya yang anggun membuatnya terlihat sempurna. Tidak pernah ada yang tau kalau steffi sangat rendah diri, merasa tidak cantik dan ingin cepat mati saja. Aku menahan keterkejutanku, “bagaimana makluk cantik dihadapanku ini merasa gak beruntung ya?” batinku. “Kata oma aku gak seperti cici dan sepupuku yang cantik-cantik. Hidungku kurang mancung, nanti kalau sudah dewasa aku mesti operasi plastik, bibirku ketebalan dan kulitku coklat bersisik” keluh Steffi pada saat sesi konseling denganku. Aku mulai mengerti kenapa gambaran dirinya kurang tepat. Suatu kali, aku ajak Steffi untuk bercermin bersama denganku. “Stef, katakan tentang dirimu”, perlahan aku bimbing dia untuk melihat realitas dirinya. Disela-sela pembibinganku, dia katakan “Ibu kan gak pernah lihat ciciku dan sepupuku yang cantik-cantik, mereka lebih cantik bu...”. Sulit memang menghadipi image yang sudah tertanam dibenaknya, dia tidak lebih catik dari saudara-saudaranya. Dengan Steffi, aku harus berupaya untuk mulai mengalihkan keistimewaan dirinya bukan dari hal yang fisik tetapi dari sisi lain, Nita menyebutnya “inner beauty”. Steffi memiliki kelembutan, kesantunan dan kebaikan hati. Steffi membutuhkan pemahaman dan penerimaan diri sepenuhnya.
Beda lagi dengan Eva, pengalaman pahitnya tinggal kelas, membuatnya semakin menjadi penyendiri. Sikapnya yang pendiam membuatnya memiliki teman sedikit. Kebanyakan teman dan guru mengenalnya sebagai anak “mantan”, tidak banyak yang tau dia pandai memainkan piano dan terkenal divihara tempatnya beribadah dan aktif di komunitas anak muda. Seringkali disela-sela jam istirahat, ia menyelinap ke ruang BK sekedar cerita tentang pacarnya yang lebih dewasa dan mereka pacaran dengan serius. Sesekali dia cerita tentang pengalaman papa mamanya mendirikan usaha baru mereka. Berhadapan dengan Eva, aku merasa seperti berbicara dengan teman, kematangannya cukup baik. Rancangannya tentang masa depannya, begitu ideal. Itu semua membuatku sering menyapanya dengan “Ibu Eva”.
Pengalaman “berselancar” bersama perkembangan anak remaja membuat hidupku banyak warna. Tak jarang suamiku bilang “Kau terlalu bersemangat dengan anak-anak ya, jangan-jangan mimpipun kau mimpikan mereka”. Ya aku memang punya banyak harapan dengan mereka, masa depan ini ditangan mereka. Aku selalu ingatkan diriku untuk berpacu dengan waktu, selagi mereka ada dihadapanku. Aku tidak akan merelakan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh nilai kehidupan dunia yang akan menjerat mereka, membelenggu mereka dalam kebebasan semu. Maka selagi mereka ada dihadapanku, aku ingin berdampak bagi mereka. Mereka menemukan hakekat kehidupan dan nilai-nilai kebenaran yang akan membawa mereka mengarungi lautan kehidupan ini dengan senyuman dan membuat dunia juga tersenyum.
Mei tahun 2008, hampir 2 tahun penuh aku bersama dengan angkatan Nita CS. Aku mendapatkan tugas ditempat yang berbeda. Ketika mendengar kabar ini, beramai-ramai mereka mendatangi ruang kerjaku. Mereka sangat ekspresif, dari jauh aku mendengar langkah kaki bergegas dan suara “Ibuuu.......” persis didepan meja, dimana aku duduk, Nita sebagai juru bicara mereka mulai berkata “Ibu....kami gak rela....ibu tidak boleh pindah....please 1 tahun lagi bu. Kita sama-sama pergi dari sini, tunggu kami lulus” aku berusaha menenangkan mereka, tapi sambung Nita “siapa yang mau dengarkan kami bu...., ibu itu teman kami, sahabat sekaligus mama kami...jangan pergi bu...sampai kami lulus!”. Aku terus berusaha membujuk mereka sampai akhirnya bel masuk terdengar dan mereka harus kembali ke kelas masing-masing.
Beberapa hari berikutnya, tidak terdengar lagi mereka berceloteh di ruang kerjaku, “ngambek” pikirku. Kompak mereka tidak lagi menemuiku seperti biasanya. Kalau benar, ada yang perlu dievaluasi dari caraku mendampingi mereka, mereka tergantung padaku, itu berarti aku sudah melanggar azas kemandirian (azas dalam konseling). Dengan kesibukanku mulai merangkap tugas, sesaat aku melupakan masalah ini dan berfokus pada tugas baruku yang perlu kusiapkan.
Siang itu, bel istirahat panjang berbunyi, terlintas dibenakku “mereka biasanya datang”. Aku mengabaikan dan kembali berkutat membenahi barang-barangku yg mesti kupindahkan ketempat yang baru. “Ibuu...” suara bersamaan yang gak asing itu aku dengar. Itu mereka, lagi-lagi Nita sebagai jubirnya: “Ibuku sayang....maafin kami yaa...setelah kami pikir-pikir, kami harus merelakan ibu untuk pindah ke tempat lain” Nita berbicara dengan gaya manja dan centil. “Selamat ya....ibu presiden...” sambungnya, mengulurkan tangan dan memelukku diikuti teman-temannya yang lain. Sejenak aku tidak mampu berkata apa-apa. Setelah semuanya “ngeriung” duduk dan berdiri mengitariku, aku mulai menjelaskan, kenapa aku harus pindah. “ iya Bu...kami ngerti kok, tapi jangan lupa... promnite nanti ibu datang ya...”. “Eh pas wisuda aja ya Bu...” sambung yang lainnya. “Atau kita ketemuan rayain Ultah sama-sama bu” kata Nita yang ultahnya hampir bersamaan denganku. Beberapa saat kami berbicara seperti biasanya lagi. Menjelang bel masuk, mereka mulai bubar, kembali ke kelasnya. Tinggal Nita yang ada, dia mengambil bungkusan berbentuk kotak dan memberikannya padaku. “Bu, ini untuk ibu..., saya mau ini ibu tempatkan dimeja kerja ibu, ini paper quilling hasil karya saya yang ibu ajarkan, isinya tentang ibu” ujarnya sambil menyodorkan bungkusan. “Buku ini harus Ibu baca, karena tepat untuk ibu presiden”, sambungnya. Aku belum sempat berkata apapun, Nita menyambung; ”Bu....peluk aku” dia rentangkan tangannya dan kami pun berpelukan.
Sepeninggal Nita, aku buka bungkusan tadi, sebuah buku Chicken Soup for the Working woman’s Soul berjudul “Menggapai Karir Impian” dan sebuah kartu ucapan berhias paper quiling yang berisi tulisan tangan di halaman dalamnya. Aku mulai membacanya. Mataku tertuju pada satu kalimat: Ibu itu bukan cuma guru buat saya, tapi juga sahabat, kakak & “role model” saya dalam ngejalani masa-masa susah & senang. Beberapa kali aku baca kalimat ini. Aku sadar bahwa ternyata apa yang sering aku dengar melalui pelatihan itu benar adanya. Ternyata anak-anak disekitar kita memantau setiap gerak-gerik kita, seolah-olah meneropong dan memberi penilaian. Sama halnya dengan seorang guru yang memberikan penilaian afektif ataupun kepribadian terhadap muridnya.
Aku terharu sekaligus bangga. Dalam hati aku berjanji untuk terus meneliti semua tingkah langkahku di hadapan semua orang termasuk para murid. “Nita….Nita….bukan hanya buku yang kau hadiahkan pada ibu, tapi juga kata-katamu…menginspirasiku”
Sesaat aku perhatikan halaman depan kartu ucapan warna pink berhiaskan bunga-bunga dan kupu-kupu dari paper quilling. Aku pernah mengajarkan ketrampilan sederhana ini. Segera kuraih buku bergambar wanita dengan peralatan kerja, aku buka halaman pertama. Lagi-lagi Nita menghiasi buku itu dengan tulisan tangannya.
Untuk Ibu Siwi….
Terima kasih karena ibu telah mengajari saya banyak hal dan menjadikan saya lebih baik dan dewasa. Semoga ibu mencapai karir impian ibu. Tuhan selalu beserta ibu.
With love, Nita
Di bawah tanda tangannya, Nita kembali menuliskan satu kalimat ; “I may forgot what you said, but I will never forget how you made me feel….” Carol Buchner.
Aku dekap buku itu dan berbisik, pujian dan kemuliaan bagiMu Tuhan.
Oleh : Siwi Tri Wahyuningtyas, M.Pd.
True story (menggunakan nama samaran) yang dialami penulis.
Pernah dimuat dalam buku Kepompong di daun PENABUR.
Informasi Terkini seputar sekolah kristen BPK PENABUR
Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur