Komik Natal : Cerita Papa Tentang Makna Natal Ses...
Read MoreADAKAH NATAL DI HATIMU?
Read MoreSanta Claus is Coming To Town
Read More
Hari itu adalah hari Selasa. Pelajaran Fisika di kelas kami baru saja berakhir. Setelah ini, pelajaran PPKN akan dilakukan selama 1 jam. Bu Guru yang mengajar kami pun datang. Beliau membuka pintu dan masuk ke dalam kelas. Ketua kelas kami kemudian memimpin pemberian salam. Setelah itu, Bu Guru memberi kami tugas kelompok, yaitu membuat naskah sosiodrama.
Kami langsung membentuk kelompok masing-masing. Kelompokku menjadi yang pertama mengajukan diri untuk mendaftar nama anggota. Kelompokku terdiri atas aku, Henoch, dan 5 teman lainnya, yaitu Albern, Dicko, Diego, Samuel, dan Kevin. Lalu, setiap kelompok diminta untuk memilih ketua kelompoknya masing-masing. Aku terpilih menjadi ketua dari kelompokku.
Seusai itu, ketua dari setiap kelompok diminta agar maju untuk memilih sila Pancasila yang dijadikan topik dari naskah sosiodrama yang akan didiskusikan. Kami pun bermain Hompimpa. Siapa yang menang, kelompoknya dapat memilih sila Pancasila yang diinginkan. Aku memilih sila ketiga untuk kelompokku. Awalnya ada yang tidak setuju, tetapi setelah aku koordinasikan kembali dengan teman-teman, semua akhirnya sepakat akan keputusan ini.
Diego : “Kamu kenapa pilih sila ketiga sih, Noch?”
Albern : “Ya elah, harusnya kamu pilih sila keempat, Noch!”
Diego : “Kalau sila keempat kan gampang, kita tinggal bikin dialog seperti musyawarah.”
Aku : “Tapi kalau sila keempat kan dialognya jadi lumayan panjang, karena musyawarah. Kalau
musyawarah atau diskusi kan banyak ngomong.”
Diego : “Ya iya sih..”
Aku : “Makanya aku pilih sila ketiga. Kalau sila ketiga kan ga terlalu panjang dialognya, lagipula
pilihan topiknya lumayan banyak. Kita bisa pilih tema “Cinta Produk Lokal” atau tentang
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Samuel : “Udah, udah yuk! Kita langsung kerjain aja. Waktunya nggak banyak, nih!”
Kami pun bergegas membuat naskahnya. Langkah pertama yang kami lakukan adalah menentukan judul. Setelah itu, aku berdiskusi dengan teman-teman terkait pemilihan nama tokoh. Awalnya, kami sepakat untuk membuat nama tokoh sendiri. Namun, salah satu temanku mengusul agar nama tokoh yang diperankan sesuai dengan nama pemerannya. Hal ini bertujuan agar pada saat tampil, kami tidak bingung terhadap susunan dialog. Setelah mencapai kata sepakat, kami langsung berdiskusi mengenai pemilihan topik. Kami pun memilih topik “Cinta Produk Lokal”. Menurut kami, topik ini penting untuk dibahas dan dapat dengan mudah dibuat dalam bentuk naskah.
Selanjutnya, kami mendiskusikan isi dialog yang akan ditampilkan. Kami mulai membuat kalimat-kalimat dialognya satu per satu. Kami mulai membuat dari bagian intro hingga awal bagian inti dari naskah dialog kami. Sayangnya, bel istirahat pun berbunyi. Kami tidak dapat menyelesaikannya pada hari itu. Sehingga, kami harus melanjutkannya di hari lain.
Kami pun melanjutkannya pada hari Kamis. Kami berkumpul secara daring melalui google meet untuk melanjutkan diskusi kami terkait isi dialog dari sosiodrama yang akan kami tampilkan. Kami melakukan brainstorming dan bahkan sempat membuat ulang bagian intro dari dialog tersebut setelah mempertimbangkan usulan salah satu teman kami. Setelah beberapa lama diskusi, kami pun berhasil menyelesaikan naskah sosiodrama tersebut. Hasil yang kami dapat berupa naskah sosiodrama yang terdiri atas 5 halaman yang diawali dengan judul, dilengkapi dengan nama tokoh dan disusul dengan dialog.
Ternyata, kami kesulitan dalam menghafal dialog yang telah kami buat. Dialog tersebut rupanya terlalu panjang. Kami pun kembali berdiskusi terkait hal ini. Salah satu temanku, Diego, mengusul agar dialog yang kami buat memiliki pola, sehingga dapat dihafal dengan mudah. Namun, aku berpendapat bahwa jika dialog yang dibuat memiliki pola yang dapat terbaca dengan jelas, itu akan menyebabkan dialog tersebut menjadi kaku.
Diego : “Buset, ini mah panjang banget dialognya. Sampai lima halaman begini.”
Aku : “Iya, ini sih panjang banget.”
Diego : “Emang gak ada yang bisa diubah lagi ya?”
Aku : “Kayaknya gak ada sih. Ini udah lumayan terfokus sama intinya.”
Albern : “Gila, ini mah panjang banget. Susah lah ngafalinnya!”
Diego : “Gimana kalau kita bikin berpola? Misalnya yang pertama ngomong itu aku, terus Kevin,
terus Albern. Baru nanti balik lagi dari aku, terus Kevin, terus Albern. Sampai nanti gili-
ran Dicko masuk. Biar gak susah hafalin urutannya.”
Aku : “Tapi kalau gitu nanti kelihatan kaku gak? Soalnya itu polanya bisa kebaca dengan jelas.”
Diego : “Iya sih, takutnya entar malah jadi kaku ya.”
Aku : “Atau mau coba dulu?”
Diego : “Yaudah, coba dulu aja.”
Hasilnya, dialog kami terdengar kaku dan berpola. Sehingga, kami tidak jadi menggunakan ide tersebut. Kami pun berpikir keras dalam mencari jalan keluar atas masalah ini.
Diego kemudian mengusulkan agar dialog yang tidak penting atau tidak berhubungan dengan topik pembahasan dihilangkan saja. Sehingga, dialog yang ada menjadi lebih pendek dan lebih mudah untuk dihafal. Awalnya, aku tidak setuju dengan ide ini. Terdapat satu bagian dari dialog tersebut yang memang tidak berkaitan dengan topik yang kami pilih. Namun, dialog tersebut awalnya dibuat dengan tujuan agar dialog kami tidak terlalu kaku.
Diego : “Guys, kalau yang bagian ini nggak berhubungan sama topiknya kan?”
Aku : “Nggak, itu cuma buat selingan aja. Biar nggak terlalu kaku.”
Diego : “Gimana kalau misalnya bagian ini kita hilangin aja? Biar dialognya gak terlalu panjang.”
Albern : “Boleh juga tuh idenya. Biar hafalinnya lebih mudah.”
Kevin : “Iya. Yang itu gausah.”
Aku : “Tapi emang gapapa kalau bagian itu dihilangin? Soalnya kan supaya nggak terlalu kaku
dialognya. Jadi, menurutku lebih baik gausah dihilangin.”
Diego : “Tapi kalau misalnya kita tetap masukin bagian yang ini, dialognya jadi terlalu panjang.
Ini aja udah lima halaman.”
Aku : “Gimana kalau misalnya kalimat-kalimat yang di bagian akhir ini aku perpendek aja?”
Diego : “ Yaudah coba.”
Ternyata, setelah dicoba tidak berkurang banyak. Dialog itu masih terlihat panjang.
Diego : “Tuh kan, masih kepanjangan itu dialognya!”
Aku : “Lah iya ya… Berkurangnya dikit banget!”
Diego : “Coba nih kalau misalnya bagian yang ini dihapus.”
Diego lalu mencoba menghapus bagian tersebut, dan ternyata dialog tersebut terlihat lebih pendek sekarang, dengan tersisa hanya 4 halaman.
Diego : “Tuh, lebih pendek kan!”
Aku : “Iya juga ya, jadi lebih pendek dari yang tadi! Akhirnya, ketemu juga solusinya. Terima
kasih ya, Diego!”
Alhasil, performa latihan kami menjadi lebih baik. Kami dapat menghafal dengan lebih mudah dari sebelumnya. Setelah mengubah beberapa bagian di sana dan di sini, kami mendapat hasil akhir berupa dialog yang lebih pendek dari sebelumnya. Kami pun pada akhirnya sepakat dengan dialog ini. Akhirnya, naskah sosiodrama kami pun selesai.
Sejak saat itu, aku mengerti bahwa dalam kerja kelompok kita harus mau untuk tidak hanya berpendapat, tetapi juga mendengarkan pendapat. Kita harus menerima semua tanggapan, kritikan, dan saran dari setiap anggota kelompok. Dengan mendengarkan dan menerima semua hal tersebut, kita dapat menemukan gagasan atau ide baru. Dengan gagasan atau ide baru tersebut, kita bisa mendapatkan hasil akhir yang lebih baik dari sebelumnya.
Henoch Matthew Sidabutar - SMPK Penabur Harapan Indah
***
Mari bergabung di BPK PENABUR Jakarta https://psbjakarta.bpkpenabur.or.id/
Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur
© 2019 YAYASAN BPK PENABUR