bpkpenabur
Read Morebpkpenabur
Read More“Mendidik anak-anak sekolah dasar itu punya seni tersendiri.”
Apa rahasia menjadi bahagia? Seorang filsuf Stoikisme (salah satu mazhab filsafat Yunani Kuno) bernama Epictetus, meramu sebuah resep kebahagiaan. Menurutnya, seseorang dapat mencapai ataraxia (the absence of troubles atau ketiadaan gangguan) jika ia mampu memilah-milah apa yang tergantung pada dirinya (up to us) dan apa yang tidak tergantung pada dirinya (not up to us). Jika ingin tampak lebih ‘canggih’ (atau malah njilmet), ‘apa yang tidak tergantung pada diri kita’ itu dapat disebut sebagai indifferent atau adiaphoron.
Resep kebahagiaan a la Epictetus ini tampaknya dihayati oleh seorang Guru Purnabakti dari SD di SDK BPK PENABUR Cimahi bernama Lim Tjoe Tjiang. Kehidupannya diwarnai oleh derap langkah bocah di lorong-lorong sekolah, setumpuk buku tulis yang perlu diperiksa dan sederet lembar ujian yang perlu diberi nilai. Perjalanannya mendidik anak-anak sekolah dasar ternyata ‘memaksa’ Bapak Lim untuk menemukan makna dari setiap hal yang ia jalani. Tanpa menemukan makna, manusia akan kehilangan daya dan gairahnya untuk melakukan sesuatu. “Untuk apa saya mengajar?”, “Apa keuntungan yang saya dapatkan dari mengajar anak-anak ini?”, “Mereka sangat berisik, terkadang juga sulit diatur, untuk apa saya terus mengajar mereka?”. Deretan pertanyaan itu berbaris rapi, menunggu sebuah jawaban atas dirinya sendiri.
Proses yang panjang itu akhirnya menghantarkan Pak Lim pada sebuah kesimpulan tentang resep menjadi bahagia. Resep menjadi bahagia menurut Bapak Lim Tjoe Tjiang adalah sebagai berikut:
Mengarahkan segala sesuatu kepada ‘sumbu’ positif adalah prinsip hidup Stoik. Segala sesuatu tidak bisa berjalan sesuai yang kita mau, ada hal-hal yang berada di luar kendali kita (not up to us), termasuk murid-murid.
Pak Lim berhasil mengarahkan hidupnya pada ‘sumbu’ positif. “Mengajar anak-anak sekolah dasar memiliki seninya tersendiri, tidak bisa dengan paksaan, saya harus mencari formula terbaik dan ternyaman bagi semuanya”, demikian yang ia yakini. Jika demikian, mengajar adalah sebuah seni. Kesenian mengungkapkan apa yang tersembunyi di dalam jiwa. Apa yang tersembunyi dalam jiwa seorang Pak Lim? “Ikhlas adalah kunci dalam seni mendidik anak-anak.”, begitu katanya. Keikhlasan tersembunyi pada kedalaman hatinya.
Ikhlas menerima dan memberikan segala sesuatu kepada murid-muridnya. Jika ada anak yang berteriak-teriak di kelas, ia bukan hendak mengejek atau mencela gurunya, tetapi justru ia ingin didengarkan oleh gurunya. Barangkali suaranya tidak pernah didengarkan. Jika ada anak yang jahil kepada temannya, ia bukan bermaksud menjadi anak nakal. Tetapi, mungkin ia ingin berteman tetapi tidak tahu caranya. Keikhlasan a la Stoik semacam ini, memampukan Pak Lim terbebas dari beban-beban yang ‘tidak seharusnya’ ia tanggung.
Sikap ‘pembebasan’ yang sama dilakukan oleh Ayub dalam kesaksian Alkitab, ketika kehidupannya yang tampak ‘sempurna’ seolah diporak-porandakan. Tetapi, Ayub memilih untuk melepaskan diri dari apa yang tidak bergantung pada dirinya (not up to us), yakni harta dan keluarga. Tindakan itu membuat Ayub terbebas dari beban yang tidak semestinya ia tanggung, sehingga ia mampu berkata, “… TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21). Sekali lagi, sikap ikhlas membebaskan seseorang dari penderitaan dan justru membuka jalan pada relasi mendalam dengan Allah.
Pada akhirnya, perjalanan jauh yang ditempuh oleh Bapak Lim Tjoe Tjiang dengan membawa bekal resep kebahagiaan ini memberi pertumbuhan bagi benih iman di dalam hatinya. Imannya kepada Tuhan Yesus Kristus terus bertumbuh ketika ia mengajar anak-anak dengan ikhlas atau legowo. Pak Lim percaya, sebuah pengajaran yang dilandasi oleh iman akan menghasilkan kasih. Maka, tibalah kita pada sebuah kesimpulan jika mengajar itu adalah seni ikhlas.
*Artikel ini terinspirasi dari pengalaman Bapak Lim Tjoe Tjiang (Guru Purnabakti SDK BPK PENABUR Cimahi).
Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur
© 2019 YAYASAN BPK PENABUR