Cerpen : Senyum Perpisahan untuk Mama

Berita Lainnya - 01 February 2021

Senyum Perpisahan untuk Mama

Karya : Adeline Putri Kurniawan

Kelas XI IPS 1 SMA Kristen 6 PENABUR

 

            Hasil tesnya sudah keluar. Kertas lab tersebut aku keluarkan dari amplop sambil menahan napas. Aku berharap bahwa sakit kepala dan rasa kebas pada pergelangan tanganku bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan. Aku membaca setiap paragraf dengan saksama, mengharapkan segala rangkaian tes yang sudah kulakukan kemarin hasilnya negatif. Namun, semua harapanku terpatahkan. Dari seluruh rangkaian tes yang sudah kujalani, aku dinyatakan positif mengidap tumor otak. Aku kembali mengecek amplop yang tadi sudah kubuka, aku mendapati dua buah foto rontgen otak. Di sisi kiri, terdapat foto otak yang sehat dan normal. Sedangkan di bagian kanan, aku menduga itu adalah foto otak milikku. Dari kedua perbandingan foto tersebut, aku menemukan adanya sebuah gumpalan dalam otakku. Aku tak kuasa menahan tangisku.

 

            Aku begitu kecewa dan marah terhadap hasil tes yang baru saja kubaca. Aku memutuskan untuk mengambil sebuah korek api, membakar kertas lab beserta foto tersebut. Namun, tiba-tiba anak laki-lakiku terbangun. Aku terkejut dan spontan menyembunyikan kedua kertas tersebut. “Ma, besok aku ingin telur mata sapi lagi. Jangan lupa untuk tambahkan ikan teri di atasnya,” ucapnya sebelum menjatuhkan diri ke atas kasur. Untungnya, dia hanya mengigau dan tak sadar dengan apa yang sedang kulakukan. Aku menghela napas dan memutuskan untuk mengunjungi alam mimpi.

 

 

            “Ma, ayo bangun! Buatkan aku sarapan, aku lapar sekali!” rengek anakku. Aku mengumpulkan seluruh tenaga dan niatku untuk beranjak dari kasur. Aku menatap anakku sambil meregangkan seluruh otot badanku. “Kau mau sarapan apa, Ben?” tanyaku seraya merapikan kembali tempat tidurku. “Aku ingin dua telur mata sapi dengan ikan teri di atasnya, Ma!” ucapnya dengan penuh semangat. Aku hanya tersenyum, “Kalau begitu, pergilah bersiap-siap dan mandi, ya?” Ben tak menjawab, ia langsung berlari menuju kamar mandi tanpa membawa handuk. Ya, seperti biasa. Dia tidak pernah mengingat untuk membawa handuknya yang tergantung di atas jemuran.

 

            Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka pintu kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan yang kuperlukan untuk membuat sarapan pagi. Tak butuh waktu lama, aku sudah mempersiapkan semua menu sarapan pagi beserta dengan beberapa makanan pendamping. Ben keluar dari dalam kamar mandi dengan sebagian rambut yang masih tertutup busa, dagunya masih penuh dengan krim pencukur, serta sikat gigi di kedua tangannya.

 

            “Astaga, kau harus bersiap-siap dengan benar, Ben!” aku langsung bangkit dan menghampiri Ben. Kuajak dia untuk kembali ke dalam kamar mandi dan membantunya untuk bersiap-siap. “Suatu saat nanti kau harus bisa melakukan semuanya sendiri, Ben,” aku membilas sebagian rambutnya yang masih tertutup oleh busa. “Tak mau! Tak mau! Itu tugas Mama untuk merawatku!” teriaknya berulang kali. “Mau sampai kapan Mama harus memandikanmu, Ben?” aku membantunya untuk mencukur kumis tipisnya. “Cobalah untuk mencukur sendiri, Ben. Kau akan baik-baik saja selama kau tidak mencukurnya dengan kasar,” Ben tidak menghiraukan perkataanku dan terus memberontak. Pada akhirnya, ia pun selesai bersiap-siap setelah aku bersusah payah dalam membantunya.

 

            Ben, anak laki-lakiku yang mengidap autisme. Ya, dia berbeda dari anak-anak pada umumnya. Namun, aku berusaha keras untuk mendidiknya dengan baik. Semenjak kakak perempuannya menikah, ia terlihat begitu kesepian. Oleh karena itu, aku terus berusaha untuk mendampinginya. Tentu aku sadar bahwa waktuku hampir habis. Dokter mendiagnosis, tumor otak yang kuderita sudah mencapai stadium tiga, sehingga sulit untuk disembuhkan. Bahkan, dari seluruh pengobatan dan terapi yang sudah kulakukan, tidak akan menaikkan tingkat kesembuhanku.

 

            Ben tidak pernah tahu soal ini. Aku selalu berusaha keras untuk mengelak setiap dia bertanya soal kondisi kesehatanku. Tampaknya, ia mulai curiga dan mempertanyakan apakah aku baik-baik saja selama ini. Ben bukanlah anak yang perhatian. Namun, ia tahu bagaimana cara merawat orang dengan baik. Aku masih ingat jelas saat ia bernyanyi untuk menghiburku yang sedang sakit perut. Ben memang terlihat seperti anak berusia 7 tahun dengan kepolosan yang sangat melekat pada dirinya. Meski begitu, ia tetaplah anak yang kusayangi.

 

            Karena masa hidupku sudah tak lama lagi, aku akan mengajarkan Ben untuk menjadi anak yang mandiri. Saat masa itu tiba, dia harus bisa menjalani hidupnya dengan baik tanpa bantuanku. Aku sudah membuat beberapa rencana untuk melatihnya menjadi anak yang mandiri. “Ben, ayo ikut denganku! Kita akan mengunjungi beberapa tempat di kota,” Ben terlihat malas dan tak bergerak sedikit pun. Aku mulai kesal dan akhirnya menyeretnya untuk pergi. Air mukanya menunjukkan bahwa ia tak suka dengan apa yang kulakukan. “Ayolah, ini tidak akan memakan waktu lama. Sebentar saja, oke?” aku berusaha untuk membujuknya.

 

            Ia hanya mengangguk-angguk dan mengikutiku dari belakang seperti seekor anak itik. Aku mengajaknya untuk ikut kursus menjahit khusus anak-anak yang mengidap keterbelakangan mental. Awalnya ia menolak dan terus merengek untuk pulang. Syukur, lama-lama ia menikmati kegiatan tersebut dan melakukannya dengan baik. Sepulang dari kursus, aku langsung mengajarinya beberapa hal seperti memasak, mencuci baju, membersihkan rumah, dan mandi dengan benar. Ben sepertinya kesusahan untuk mempelajari semua itu. Aku paham bahwa dia juga memiliki batas. Aku mencoba mengajarinya dengan sabar dan terus memujinya apabila dia berhasil melakukan sesuatu. Ben yang kukenal sekarang sudah mulai bisa melakukan semua pekerjaan rumah tanpa bantuanku.

 

            Tiga bulan sudah berlalu, sepertinya Ben sudah siap untuk hidup mandiri. “Ben, kau tahu kenapa Mama memaksamu untuk melakukan semua ini sendirian?” tanyaku tiba-tiba. Ben langsung menjawab, “Tidak, Mama. Sebenarnya aku tidak suka kalau Mama terus memaksaku seperti ini. Tak suka! Tak Suka!” Ben mulai marah dan menendang meja yang ada di depannya. Aku menenangkan Ben, “Kau tahu, Mama akan pergi sangat jauh, Ben. Kau harus bisa melakukan semuanya sendirian saat Mama pergi, paham?” aku menjelaskan dengan sabar pada Ben. “Mama akan naik pesawat? Ben juga mau ikut! Ben mau ikut!” teriaknya dengan polos.

 

            “Tidak sayang, Mama tidak akan naik pesawat.”

 

            “Lalu, Mama akan naik apa?” Ben terlihat kebingungan.

 

            “Apa kau masih ingat perkataan Pendeta Cris, Ben?” tanyaku memastikan.

 

            “Tidak, Mama. Pendeta Cris berbicara tentang banyak hal. Aku tak ingat semuanya.”

 

            Aku menghela napas, “Baiklah, ayo ikut Mama. Mama akan mengajakmu ke suatu tempat.”

 

 

            Aku mengajak Ben ke sebuah rumah duka di kota sebelah. Ben terlihat tidak senang dan sepertinya ia merasa risih dengan tempat ini. “Mama, kenapa semuanya menangis?” tanya Ben dengan polosnya. “Semua orang di sini menangis karena orang yang mereka sayangi meninggalkan mereka, Ben,” terangku pada Ben. “Tapi, kenapa mereka harus menangis? Toh, nantinya semua orang itu akan masuk surga dan hidup bahagia. Bukankah begitu, Ma?” Ben menatapku dengan serius, mencari kepastian. “Iya, tapi mereka semua tidak akan bisa bertemu lagi, Ben. Mereka yang sudah mati akan terus mati dan yang hidup akan terus menjalankan hidupnya.”

 

            “Dan sebentar lagi, Mama juga akan mati. Tak lama lagi, Mama akan pergi ke surga. Itulah alasan mengapa Mama terus memaksamu untuk bisa hidup dengan mandiri,” Aku berusaha keras agar air mataku tidak lolos dari kedua mataku.

 

            Ben begitu syok mendengar perkataanku, “Tidak, Mama tidak akan mati! Mama tidak akan mati! Tidak akan mati!” teriaknya berulang kali.

 

            “Ben, dengarkan Mama terlebih dahulu, ya?” Ben terus menutup kedua telinganya, menolak untuk mendengarkan.

 

            “Tidak mau! Mama tidak akan mati! Mama tidak boleh meninggalkan Ben!”

 

            “Ben, Mama punya sebuah permintaan. Ketika Mama meninggal, Ben tidak boleh menangis, ya? Mama ingin Ben untuk tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Mama. Ben harus kuat supaya kakak juga kuat melepas kepergian Mama,” Aku tak kuasa menahan tangisku dan memeluk Ben. Aku merasa bersalah karena berkata seperti itu pada Ben. Rasanya aku ingin meminta maaf berkali-kali pada Ben. Jauh dalam lubuk hatiku, aku terus berkata :

 

            “Selamat tinggal, Ben. Mama sayang kamu.”

Tags:

Informasi Terkini seputar sekolah kristen BPK PENABUR

Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur

BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 01 August 2023
BEKAL SEHAT
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 28 July 2023
OPEN HOUSE PENABUR SPECTACULAR
-
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 08 July 2023
Penerimaan Siswa Baru
-
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 18 July 2023
Pelayanan di GKI Muara Karang Dalam Rangka HUT BP...
-
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 18 July 2023
Kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) 2023...
-
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 06 July 2023
E-commerce
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 06 July 2023
Efek Samping Perkembangan Teknologi
-
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 06 July 2023
Face Recognation For Attendance
-
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 07 July 2023
Flying Car
-
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 07 July 2023
Keandalan Gen-Z Dalam Menggunakan Medsos
-
Berita Lainnya - 23 February 2021
Be Joyful!
Berita Lainnya - 10 March 2021
Bijak Dalam Bergaul
Berita Lainnya - 12 March 2021
Jadi Diri Sendiri
Berita Lainnya - 15 March 2021
Hanya Satu
Berita Lainnya - 17 March 2021
Tidak Perhitungan
Berita Lainnya - 27 September 2023
RESENSI BUKU ASIX Why? Komputer
Berita Lainnya - 27 September 2023
RESENSI BUKU ASIX TELUK ALASKA
-
Berita Lainnya - 27 September 2023
RESENSI BUKU ASIK The Cashflow Quadrant
-
Berita Lainnya - 27 September 2023
RESENSI BUKU ASIX IN THE MIDST OF WINTER
-
Berita Lainnya - 27 September 2023
RESENSI BUKU ASIX Diary si Bocah Tengil Rodrick y...
-
Berita Lainnya - 05 January 2024
QOTD STEFAN
Berita Lainnya - 09 January 2024
POW CLARA
-
Berita Lainnya - 09 January 2024
POW BIANCA
-
Berita Lainnya - 09 January 2024
POW CAITLYN
-
Berita Lainnya - 09 January 2024
POW CARSHENA
-

Choose Your School

GO