Resensi Buku: Manusia dan Ilusi
Berita Lainnya - 30 May 2025
A. Identitas Buku
Judul : Ecce Homo
Penulis : Friedrich Nietzsche
Penerbit : Arcturus Publishing Limited
Kota Terbit : London
Tahun Terbit : 2024
Jumlah Halaman : 143
B. Resensi Buku
Friedrich Nietzsche adalah salah satu filsuf paling berpengaruh dan kontroversial dalam sejarah pemikiran Barat. Ia dikenal karena pemikirannya yang tajam, kritis, dan revolusioner terhadap agama, moralitas, budaya, dan filsafat tradisional Barat. Nietzsche dibesarkan dalam keluarga Kristen Lutheran. Ayahnya adalah seorang pendeta, tetapi meninggal saat Nietzsche masih kecil. Ia kemudian dibesarkan dalam lingkungan yang sangat religius, namun seiring waktu ia menolak iman Kristen dan menjadi kritikus tajam terhadap agama. Nietzsche adalah seorang yang cerdas, pada usia 24 tahun ia ditawari posisi sebagai pengajar di fakultas Pengajaran Klasik Universitas Basel (salah satu dosen termuda pada masanya). Namun, karena masalah kesehatan yang kian memburuk, ia akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari sana.
Ecce Homo adalah otobiografi filosofis Friedrich Nietzsche yang ditulis pada tahun 1888, beberapa minggu sebelum ia mengalami gangguan mental serius yang mengakhiri karier intelektualnya. Judulnya—Ecce Homo, yang berarti "Lihatlah manusia itu"—merujuk pada ucapan Pontius Pilatus saat menampilkan Yesus kepada massa (Yohanes 19:5), dan di sini digunakan Nietzsche untuk memperkenalkan dirinya kepada dunia sebagai tokoh yang luar biasa dan kontroversial.
Melalui buku ini, Nietzsche berusaha menjelaskan dan membela kehidupan, pemikiran, serta karya-karyanya sendiri. Ia mengulas setiap bukunya secara reflektif dan menyampaikan wawasan tentang gaya hidup, nilai-nilai, dan kepribadiannya sendiri, kadangkadang dengan gaya yang provokatif, satir, bahkan penuh kesombongan—yang khas Nietzsche. Ia menjelaskan mengapa memiliki kebijaksanaan unik, yang menurutnya datang dari pemahaman tentang tubuh dan naluri, bukan dari dogma atau rasionalisme kosong.
Ia membahas kekuatan berpikirnya, caranya menghindari pengaruh buruk masyarakat, agama, dan moralitas konvensional. Nietzsche tidak memuji dirinya sebagai "cerdas" dalam arti biasa—seperti menguasai logika atau hafal teori. Namun, kecerdasan menurutnya adalah kemampuan membedakan antara nilai yang sejati dan nilai palsu dengan melihat realitas tanpa ilusi, serta keberanian untuk berpikir secara mandiri, bahkan jika itu membuatnya kesepian dan ditolak.
Nietzsche merasa bahwa kebanyakan orang hidup dalam kebohongan kolektif—mereka mengikuti budaya massa, opini umum, dan mode moral tanpa berpikir. Hal ini juga yang membuatnya menjauh dari masyarakat, secara fisik dan intelektual. Ia tinggal menyendiri di pegunungan untuk menulis dan berpikir. Ia juga menolak untuk menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat, terutama dalam hal sukses, status, atau kepatuhan sosial.
Nietzsche menyatakan bahwa dirinya bukan sekadar manusia biasa, melainkan “takdir” yang mengubah nilai-nilai dunia. Ia menyebut bahwa dengan pikirannya, ia membawa "palu" untuk merobohkan nilai-nilai lama demi membangun cara berpikir baru.
Dalam buku Ecce Homo ini Nietzsche juga mengulas karya-karyanya sebelumnya, seperti The Birth of Tragedy, Thus Spoke Zarathustra, Beyond Good and Evil, dan lainnya. Ia menyatakan mengapa karya-karya itu penting dan belum dipahami sepenuhnya oleh dunia.
Nietzsche tidak menulis secara akademis atau sistematis. Ia menulis dengan gaya aforistik, puitis, provokatif, dan penuh ironi. Nietzsche secara sadar menyatakan bahwa ia menulis bukan untuk zamannya sendiri, tetapi untuk masa depan. Ia tahu bahwa pemikirannya terlalu radikal untuk diterima oleh masyarakat pada zamannya.
Ecce Homo ditulis dengan gaya provokatif, ironis, dan retoris—penuh pernyataan yang ekstrem dan mengesankan seperti “Aku bukan manusia, aku dinamit.” Ia menyebut dirinya “dinamit”, bukan hanya metaforis, tapi karena pemikirannya bertujuan menghancurkan nilai-nilai lama dan mengguncang fondasi pemikiran Barat—khususnya agama, moralitas, dan filsafat klasik. Tujuannya bukan hanya menyombongkan diri, melainkan untuk mengejutkan, mengguncang, dan menggugah pembaca agar mempertanyakan nilai-nilai lama dan mulai berpikir dengan cara baru.
Ecce Homo bukan sekadar otobiografi biasa, tapi pernyataan filosofis eksistensial tentang bagaimana seseorang bisa "menjadi dirinya sendiri" (becoming what one is) dalam dunia yang penuh topeng dan kepalsuan. Buku ini adalah karya yang radikal, tajam, dan penuh paradoks, yang mencerminkan kejeniusan dan kegilaan Nietzsche di akhir hidupnya. Ini bukan buku untuk pembaca biasa, tetapi bagi mereka yang ingin memahami roh pemberontakan dan pencarian makna yang lebih dalam hidup. Buku ini tidak cocok untuk orang yang hanya ingin hiburan ringan atau penjelasan hitam-putih tentang hidup. Konsep di dalamnya terasa sangat menggugah, menggelisahkan, bahkan mengacak-acak struktur berpikir kita. Melalui buku ini Nietzsche ingin membongkar ilusi, memaksa kita menghadapi realitas sejati, serta menunjukkan bahwa pencarian makna adalah perjuangan individu, bukan sesuatu yang bisa diwariskan secara massal. (Leonardus Seno Aditio - Pustakawan SMAK 5 PENABUR Jakarta)
Resensi ini diposting pada laman blog kompasiana dengan link:
https://www.kompasiana.com/perpustakaansmak5penaburjkt/68098c2ced64154793451ec2/manusia-dan-ilusi-review-buku-ecce-homo
Informasi Terkini seputar sekolah kristen BPK PENABUR
Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur