Selama bulan paskah, saya turut serta dalam kegia...
Read MorePASKAH TERINDAH
Read MoreDua semester sekolah telah para murid lalui. Semi...
Read More
“Bagaimana kejadiannya, kok Samudra tidak bisa dibangunkan Mbak?”
“Tidak tahu Om, tadi Samudra berpesan agar dibangunkan jam lima. Biasanya hanya mendengar pintu dibuka saja ia pasti terbangun.”
Om menepuk-nepuk pundah Samudra, menggoyang-goyangkan tangan dan kaki Samudra. Tapi Samudra tidak bangun. Om mencubit-cubit lengan Samudra lebih keras, tapi Samudra tidak juga bangun. Didekatkan telinganya ke dada Samudra. Dada Samudra berdetak normal.
“Detak jatungnya oke. Samudra tidak kenapa-kenapa Mbak. Mungkin Samudra terlalu capek.”
“Tidak tahu om, tadi Samudra pulang entah dari mana langsung tidur, minta dibangunkan jam lima.” Dengan hati-hati Om membuka mata Samudra. Beberapa orang mendekat ingin ikut melihat.
“Matanya juga normal.”
Istri Samudra jadi lebih tenang mendengar penjelasan Om. Sementara itu, Samudra mendengar yang sedang terjadi. Samudra mendengar ketika tadi istrinya membuka pintu dan berusaha membangunkannya jam empat. Tapi Samudra tidak bisa bangun. Samudra tidak bisa menggerakkan tubuhnya meski sadar bahwa dirinya tidak sedang tidur. Ingin sekali ia berteriak “aku tidak bisa bangun”, tetapi ia tidak bisa.
Jam lima, Samudra merasakan seperti kesemutan merambat dari ujung kaki. Perlahan-lahan kakinya tidak berasa apa-apa. “Lho Ma, kakiku lenyap? Coba lihat kakiku apakah memang lenyap?” teriaknya dalam hati. “Ah, istriku tidak bisa mendengar. Bertahun-tahun menjadi pasangan suami-istri tidak akan bisa mampu saling membaca hati dan pikiran” pikirnya.
Pikiran semacam itu membuatnya tersenyum geli dalam hati, tetapi kemudian menjadikannya sangat takut. Sebab rasa seperti kesemutan itu tidak berhenti di pangkal paha. Rasa seperti kesemutan itu menjalar ke atas. Perlahan-lahan menjalar naik sampai kemaluan, perut, dada, dan ketika sampai di leher, ia hanya bisa merasakan mempunyai kepala tanpa badan. Ia pun sangat ketakutan dan berusaha berteriak. Ia sadar bahwa orang-orang tidak bisa mendengarkan teriakan hatinya. Maka ia berseru-seru kepada Tuhan, “Tuhan, tolong, tubuhku mana? Bagaimana mungkin aku merayakah Paskah hanya dengan kepala tanpa badan?” Mulut yang biasa digunakannya untuk berbicara panjang lebar, kini tidak bisa ia gerakkan sedikitpun. Samudra jadi mengerti betapa ajaibnya mulut manusia, dan betapa bergunanya kata-kata. Hal itu membuatnya semakin cemas.
“Sebaiknya Samudra dibawa ke rumah sakit.”
“Tapi Dok, rumah sakit sangat jauh dan nanti jam tujuh perayaan Paskah dimulai!”
“Lho, penting perayaan Paskah atau keselamatan Samudra?”
Istri Samudra tambah galau. Pikirannya kacau dan sedihlah hatinya. Ia telah berlatih mazmur selama sebulan. Baru kali ini diberi kesempatan untuk tampil di gereja. Ia sangat bersemangat dan sudah hafal seluruh baitnya. Ia pun sudah menulis beberapa status di facebook tentang ditunjuknya dia sebagai pemazmur malam paskah. Samudra paham yang dirasakan istrinya. Tetapi Samudra belum bisa bicara, bahkan sekarang kepalanya pun berangsur-angsur menghilang. Seluruh tubuhnya terasa telah lenyap. Satu-satunya yang tersisa adalah perasaan takut yang kian menjadi-jadi.
Perlahan-lahan, Samudra bisa membuka matanya. Kini ia bisa melihat. Mula-mula ia melihat lampu yang tergantung di plafon rumah sakit. Pandangannya ia arahkan dan menjadi heran, ia melihat apa yang seperti ia kenal tetapi ia tidak mengerti. Sesuatu yang bersinar, yang tergantung di bidang datar yang luas di atas kepalanya. Sekat-sekat yang ada di depan, kiri, kanan, yang mempunyai lobang kotak-kotak dengan sesuatu yang transparan menutupinya. Oh, bagusnya itu, di sana ada yang bisa terlihat dari sini. Benda-benda yang bergerak dan mengeluarkan suara, mengenakan sesuatu yang tipis dan berwarna-warni. Tapi itu apa, Samudra tidak tahu.
Samudra hanya bisa melihat, tak bisa mengerti, seolah dia hanyalah sepasang mata tanpa tubuh dan kepala yang menyaksikan “sesuatu”. Istri dan anak-anak Samudra menangis. Istrinya telah berkali-kali menciumi mata Samudra yang tertutup dan berbisik dengan bibir yang ditempelkan di telinga Samudra. “Maafkan aku yang jarang memperhatikanmu, Samudra. Ternyata aku masih mencintaimu, Samudra, aku sangat takut, jangan tinggalkan kami Sayang!” Tetapi Samudra tidak mendengar. Samudra tidak lagi menyadari kehadiran Istri dan anak-anaknya yang sejak tadi mendoakannya.
Setelah dua jam perawatan, Dokter merekomendasikan agar Samudra dibawa pulang. Para tetangga telah menunggu. Sesampainya di rumah, Samudra langsung dibawa ke kamar tidur. Ia didudukkan, diajak berbicara, tetapi belum mengerti apa-apa.
Satu jam kemudian, Samudra merasa ada yang bergerak-gerak. Ia mengamati tangan kanannya. “Benda apakah ini? Sepertinya aku pernah tahu ini.” Ia berusaha mengingat-ingat. “Ini seperti tangan. Tapi tangan siapakah ini?” ingatannya tentang tangan mulai muncul. “Ini tangan? Ya, ini tangan. Ini tangan siapa? Oh, ini tanganku. Ya, aku punya tangan, aku punya tangan. Tanganku bisa kugerak-gerakkan. Telah kugunakan untuk apa sajakah tanganku ini?”
Ia merasakan kegembiraan yang luar biasa hanya karena menyadari bahwa dirinya mempunyai sepasang tangan. Ia menggerak-gerakkan tangan kanan dan kiri dengan penuh sukacita. Ia begitu menikmatinya. Sepuluh menit ia melakukan hal itu hingga tanpa sengaja tangan kanannya menyentuh rambut di kepalanya. Sesuatu yang enak terasa ketika tangannya menyentuh rambutnya. Ia mengulangi dan menciba menyentuh dengan lembut.
“Hei, apakah ini? Sesuatu yang enak disentuh.” Samudra mencoba mengingat-ingat, dan alangkah gembiranya. Setelah lima belas menit, ia bisa mengingat bahwa itu adalah rambutnya. “Aku punya dua tangan dan dua rambut yang enak disentuh! Aku ingat, aku ingat!” gembiranya dalam hati. Tangan dan matanya pun mencari-cari apa yang ada di dekatnya, dan lama-lama ia bisa menemukan hidungnya sendiri, mulutnya sendiri, telinganya sendiri, kaki, dan seluruh tubuhnya sendiri. Kegembiraannya tidak bisa dilukiskan, sebab begitu tiba-tiba, dari merasa tidak mempunyai apa-apa, ia menjadi memiliki banyak hal yang menakjubkan.
Ketika tangannya bergerak-gerak di depan matanya sehingga menghalangi pandangan, ia pun menjadi ingat bahwa ia bisa melihat karena dua benda itu. “Oh, ini dan ini adalah mata saya.” Perlahan-lahan Samudra menyadari keberadaan dirinya sendiri, dan ia menyadari bahwa dirinya adalah seorang yang berharga, setelah melihat sosok yang ada di depannya, seorang wanita-istrinya , dan dua sosok kecil-dua anaknya, dan orang-orang yang sejak tadi mencemaskannya.
Kenangan pun muncul satu demi satu. Kesadarannya perlahan-lahan pulih. Ia kini menyadari betapa ia telah menyia-nyiakan beraneka anugerah. Tanpa disengaja, Samudra pun meneteskan air mata. Ia mengenang ketidaksetianya terhadap istri dan anak-anak yang sangat mencintainya itu, yang sekarang sedang memeluknya erat-erat, dan sejak tadi bertanya-tanya, “Sudah sadarkah, Pak?”
Terdengarlah paduan sebuah radio: “Syukur kepada Tuhan, sumber segala rahmat, meski kami jasa, Kau junjung dan Kau angkat. Dosa kami Kau ampuni. Kau beri hidup ilahi, kami jadi putera-Mu.” Samudra jadi ingat, ini adalah malam perayaan Paskah, Ia ingat bahwa seharusnya istrinya sedang di gereja dan tampil sebagai pemazmur. Samudra tiba-tiba berdiri. Istrinya dan anak-anaknya terkejut lalu buru-buru menopangnya. Samudra berjalan dipapah istri dan kedua anaknya, membuka laci lemari. Kemarin ia menyimpan kado kecil untuk istri dan anak-anaknya, entah apa isinya. Mereka membuka kadi itu di beranda rumah disaksikan beberapa orang yang tampaknya penasaran. Ketika itu Samudra sangat ingin bicara, tapi tidak bisa kecuali di dalam hatinya :”Aku telah diberi banyak yang selama ini kusia-siakan: hidupku sendiri, dan orang-orang yang mencintaiku.”
Setelah membuka kado kecil itu, istrinya berbisik di telinga Samudra, “Keselamatanmu lebih penting daripada perayaan paskah, Sayang!” Samudra mendengar. Ia menjawab dengan sebuah senyuman. Mulutnya diam, hatinya berbicara: “Aku seperti baru saja dilahirkan kembali. Kutemukan diriku telah dikarunia banyak hal yang berharga, yang biasa kutinggalkan dan lalu kulupakan demi mengejar banyak hal yang sering kujadikan alasan untuk tidak berbahagia sebelum dapat meraihnya. Ah, kurasa ini Paskah terindah.”
Bernadette Dian Roro Widorini Dethan – SMPK PENABUR Kota Jababeka
***
Mari bergabung di BPK PENABUR Jakarta https://psbjakarta.bpkpenabur.or.id/
Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur
© 2019 YAYASAN BPK PENABUR