Komik Natal : Cerita Papa Tentang Makna Natal Ses...
Read MoreADAKAH NATAL DI HATIMU?
Read MoreSanta Claus is Coming To Town
Read More“F-L-U-O-R-I-N!”
“Ape sih, Nad?”
“Ehehe, sekelompok yuk buat tugas bahasa tadi?”
“Sip~! Tapi, masa Cuma kita berdua? Ajak yang lain juga.”
“Oke deh. Kamu cari Lola, aku cari Dilla sama Karina.”
Fluorin mengangguk dan berlalu ke kantin. Lola pasti ada disana. Anyway, aku belum kenalan nih. Namaku Nada dan yang barusan pergi itu sahabatku dari SD, Fluorin. Nanti lagi cerita tentang Fluorin. Sekarang, misiku adalah mencari dua sahabatku yang lain. Capcus~!!!
***
“Nona cantik numpang lewat, bestie,” ujarku mengibaskan rambut sambil berjalan melewati Dilla dan Karina.
“Siapa ya?” tanya Karina memutar bola matanya pura-pura tidak melihatku.
“Nada!!!”
Serious as always. Karina. Dia juga sahabatku dari SD. Karina itu pinter, baik, dan aesthetic banget. Dia bisa buat yang impossible jadi possible. Kebiasaan buruk Karina tuh hampir gak ada. Dia adalah salah satu spek cewek yang perfect. Tapi, kalo kalian gak terlalu suka suasana serius, Karina gak cocok deh pastinya. She’s kinda serious. Meski gak setiap saat. Still, dia partner terbaik untuk kerjasama.
Dan yang barusan teriakin namaku, itu Irdilla–lebih akrab disapa Dilla. Paling ceria dan hangat ke kita semua. Dilla juga paling bisa menceriakan suasana. Tapi dia punya kebiasaan buruk yaitu peluk-peluk orang sembarangan dan kadang suka lazy. Fluorin selalu jadi korban pelukan maut Dilla yang bisa bikin orang jadi penyet. And, it’s happen to me now.
“Kar, bantuin dong. Susah napas nih,” ujarku susah payah.
Karina akhirnya membantuku untuk lepas dari Dilla. Tenaga Dilla itu super kuat. Paling ramping sih iya, tapi tenaganya itu lho.
“Hehe, sorry, Nad. Soalnya udah lama gak ketemu nih.”
“Dil, kita tuh baru ketemu tadi pagi.”
Sementara aku dan Karina geleng-geleng kepala, Dilla hanya terkekeh pelan. Lalu aku mengajak mereka ke kantin. Memang aku belum tanya apapun soal kerja kelompok itu ke mereka, tapi aku yakin mereka setuju. So, kalo bisa nanti, kenapa sekarang? Hahaha!
***
“Fluo, Lola.”
“Oi, kemane aja lu pada? Dah ditunggu ama si Fluo nih daritadi,” ujar Lola melambaikan tangan kearah kami.
“Yaelah, La. Baru juga beberapa menit dah ribut bae lo.”
Itu Lola, nama aslinya Alola. Dia wong Jowo tulen. Dia orang super energic. Suka ketawa-ketawa padahal gak ada apa-apa. Gak jelas emang. Tapi, dia asik pake banget. Dan kebiasaan buruk Lola adalah…ya lola alias loading lama. Tolong kurangi ke-lola-an-mu. Dan dia paling suka tidur. Dari pulang sekolah sampai jam 6 sore.
Dan seperti janji, aku bakal lebih memperkenalkan Fluorin. Si paling pinter. Fisika, matematika, biologi disikat abis. Ludes semua masuk ke otak dia. Kebiasaan buruk Fluorin? Hmm…dia suka mepet waktu.
Nah udah perkenalannya, back to the story.
“Jadi gimana, Nad? Dila sama Kar setuju nih kerja kelompoknya?” tanya Fluorin.
“Kerja kelompok apa nih?” tanya Karina menoleh kearahku.
“Jadi tadi di kelas bahasa Indonesia, kita disuruh bentuk kelompok dan buat cerpen. Kan minggu depan kita udah balik ke asrama buat pembukaan semester 2. Aku sama Fluo udah setuju satu kelompok. Tinggal kalian bertiga. Biasalah kalian kan OSIS,” ujarku menjelaskan
“Oke.” “Aku jelas.” “Gue pasti.”
“Jam 4 hari ini Drops Café.”
***
“Udah jam berapa?” tanyaku ke Karina.
“Jam 15.24, Nad.”
“Masih ada waktu. Kayaknya Dilla sebentar lagi dateng. Kalo Lola pasti tidur lagi deh. Aku telpon dia dulu deh ya.”
Karina mengangguk lalu kembali menikmati ice frappuccino yang tadi dipesannya.
Tut…tut…tut…
“Halo?” “Bangun, Lola! Cepetan dateng ke café.” “Ih, kan masih ada waktu. Lo ganggu tidur gua aja deh, Nad.” “Makanya bangun. Nanti abis kerja kelompok bisa puas-puas tidur deh lo.” “Gak ah! Gua mau balik tidur. Bye!”
Meski mengatakan seperti itu, aku yakin Lola akan segera tiba. Baru saja akan masuk café, terlihat Dila datang diantar kakaknya.
“Hai, Dil!” sapaku.
“Hai, Nad! Karina udah di dalem ya?” tanya Dilla. Aku mengangguk sebagai balasan pertanyaan Dilla.
“Yuk, masuk.”
***
“Hai, gengs. Sorry, baru dateng. Gak telat kan?” ujar Fluorin yang baru dateng.
Aku, Karina, Dilla, dan Lola serempak melihat ke arah jam di handphone kami. 15.58.
“Gak telat sih, tapi mepet banget,” ujar Lola.
“Yang penting udah sampai. Pesen minum dulu, Fluo. Nanti abis nugas baru kita pesen makan.”
“Oke.”
***
“Jadi, genre cerpennya mau apa nih?” tanya Karina. Jujur saja selain aku, Karina-lah yang paling semangat kalo tugas bahasa Indonesia.
“Gimana kalo romance?” usul Dilla.
“Kampungan banget!” ujar Karina.
Aku bisa melihat ekspresi terluka juga terluka di mata Dilla, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukannya.
“Gimana kalo fantasy?”
“Ribet gak sih? Kan fantasy jatohnya harus berdasarkan fakta juga.”
“Gak selalu sih, tapi terserah aja.”
“Drama gimana? Netral kan?” usul Fluorin.
“Boleh tuh, tapi jangan yang terlalu lebay,” ujar Dilla.
“Oke. Kalo gitu, sinopsisnya gimana?”
“Gini aja ada siswi biasa yang tiba-tiba di datengin cowok dari kelas sebelah. Terus ternyata si cowok itu peri,” ujar Fluorin bersemangat.
Jujur, idenya…terlalu aneh. Entah dia yang imajinasinya lagi gak jalan atau emang otakku aja yang gak nyampe.
“Classic! Terus agak gimana gak sih kalo cowoknya peri?” sahut Karina. See, Karina juga setuju sama aku.
Berarti emang bukan otakku yang gak nyampe.
Tapi, entah sudah keberapa kalinya dia menanggapi usulan dengan kasar. Aku melihat ke arah Karina. Memang sih dia itu agak judes, tapi ini udah keterlaluan. Dia gak pernah berbicara kasar meski gak setuju sama satu ide.
“Udah, udah! Kita bahas nanti malem aja, dia group chat kita. Makan dulu sekarang.”
“Ya udah.”
***
Aku dan girls udah selesai makan. Dilla dan Lola barusan dijemput. Fluorin udah pulang sehabis makan tadi. Tinggal aku sama Karina. Ini kesempatan yang tepat untuk mempertanyakan sikap Karina tadi.
“Kar.”
“Hm?”
“Kamu kenapa? Kok tadi judes banget jawab Dilla sama Fluo? Kamu ada masalah sama mereka?” tanyaku.
“Enggak kok. Aku gak niat juga judes ke mereka, Nad. Cuma overthinking tentang sesuatu,” jawab Karina seadanya sambil mengecek handphone-nya. Dia sedang menunggu ojek online yang dia pesan.
“Overthinking kenapa? Kamu bisa cerita ke kita. Kita kan sahabat. Kalo kamu gak mau cerita sekarang ya gapapa, itu terserah kamu. Remember, we’re always here for you.”
“Iya, aku tahu. Eh, Nad, jemputanku udah dateng nih. Aku pulang dulu ya.”
“Oke, hati-hati di jalan.”
Aku dan Karina saling melambaikan tangan. Setelah punggung Karina hilang di belokan, aku pun beranjak pulang.
***
“Capek banget!” keluhku sambil rebahan diatas kasur.
Ting!
Aku menjangkau handphone di atas nakas. Tanganku dengan cepat membuka password dan melihat notifikasi instagram Karina. Dia foto bersama adiknya di sebuah restoran. Adiknya itu lucu banget, masih TK. Dan kalo dilihat-lihat, overthinking Karina udah gak ada. Buktinya, dia bisa foto dengan happy.
Yang jelas itu akan jadi foto terakhir Karina bareng adiknya sebelum kami balik ke asrama untuk pembukaan semester 2. Lalu aku mematikan handphone, tentunya abis ngasih like di foto Karina. Mataku perlahan menutup. Sudah banyak pekerjaan yang tubuhku lakukan hari ini. Saatnya beristirahat.
Dan tentu saja, kami berlima melupakan janji untuk mengerjakan tugas di group chat.
***
3 hari kemudian…
“Nada, sudah kamu bawa semua barangnya?” tanya mama dari dapur.
“Sudah, Ma. Nada pergi dulu ya,” pamitku.
“Hati-hati di jalan.”
***
Sesampainya di sekolah, aku mengantri di depan konter administrasi untuk mengambil kunci asrama. Kalau dilihat-lihat, sepertinya baru sedikit yang datang.
“Kamar nomor berapa?”
“Kamar 113, kunci milik Nada Lorenze.”
“Ini kuncinya.”
“Terima kasih, Bu.”
Setelah menerima kunci, aku berjalan melewati lorong di yang remang terkena sinar matahari pagi. Sesampainya di kamar asrama, aku langsung membuka pintu dan disambut dengan aroma madu kesukaanku.
“Huah! Enak banget. Saatnya beres-beres.”
Tak lama setelah aku datang, Dilla dan Fluorin juga tiba. Mereka menyapaku lalu ikut merapikan barang.
“Nad,” panggil Dilla.
“Ya?”
“Karina pas Jum’at lalu judes banget. Gak biasanya dia begitu. Apa dia kesel ya sama aku?” tanya Dilla.
Dilla memang orang yang sensitif. Dia bisa merasakan suasana tak nyaman kalau salah satu dari kami sedang tidak baik-baik saja.
“Mungkin dia ada masalah, Dil. Waktu kemarin aku ada tanya ke dia sih, dia bilang overthinking. Mungkin dia ada masalah di rumah,” jawabku se-netral mungkin.
“Mungkin ya.”
***
“Yo! Aku balik,” sapaku saat memasuki asrama.
“Hai, Nad! Malem ini lanjut tugas cerpen lagi ya,” ujar Karina memberitahu setelah membalas sapaanku.
“Sip. Nanti abis kelas, langsung balik ke asrama aja ya.”
Karina mengacungkan jempol diikuti anggukkan dan persetujuan dari yang lainnya.
***
Hari itu berjalan dengan baik. Karina menjadi lebih dekat denganku hari ini. Biasanya, Dilla yang selalu menempel dengannya. Mungkin, Dilla masih tidak nyaman dengan perilaku judes Karina minggu lalu.
Malamnya, kami sudah duduk melingkar di lantai dengan kertas tersebar dimana-mana. Buku KBBI, panduan juga tergeletak di lantai.
“Um…guys.”
“Ya?”
“Aku mau minta maaf ya. Minggu lalu aku ngomongnya judes soalnya agak ada masalah di rumah. Maaf banget. Dilla, aku minta maaf. Aku tahu kamu jadi gak nyaman karena aku judes.”
Aku memeluk Karina diikuti yang lain. Dia membutuhkan dukungan kami sekarang.
“Oke. Cukup peluk-peluknya. Back to work!” seru Fluorin yang tiba-tiba bersemangat. Mungkin setelah ketegangan dari minggu lalu mencair, semua kembali seperti semula.
“Nah, jadi genre-nya drama. Terus ceritanya gimana? Cowok peri itu terlalu lebay katanya,” ujar Lola mengingatkan kami.
“Jujur, kalo itu aku setuju sama Karina. Agak gimana gitu. Oh kemarin kan Dilla mau romance, kita gabungin aja sama drama gimana?”
“Penjelasan lebih lanjut, Nad.” Karina mengambill binder-nya dan pensil. Dia siap mencatat ide dariku.
“Drama tuh kan dari realita nah kita ambil dari kehidupan nyata dan digabung dengan bumbu romance,” jelasku.
“Ide dramanya darimana?” tanya Fluorine.
“Akhir pekan kita ke taman kota aja. Pasti banyak kejadian disana,” usul Dilla.
“Oke deh.”
***
Akhir pekan...
“Wuah! Pemandangannya bagus banget. Dil, fotoin aku dong,” ujarku.
Dilla mengambil handphone dan memotretku dari segala sisi. Memang oke hasil foto Dilla. Hobinya fotografi ini.
“Jangan lupa tujuan utama kita dong,” ujar Lola sedikit kesal.
Fluorin mencibir. Dia langsung menunjuk kearah mangkok bubur di tangan Lola. Sementara Lola hanya terkekeh dan kembali menyuapkan bubur ke dalam mulutnya.
“Dari hasil pengamatan sementara ide dramanya biasa aja. Gak ada yang special. Masa kita mau bikin ide yang udah umum. Kan gak asik,” komen Karina.
Kami larut dalam pikiran masing-masing. Sampai Karina menjentikkan jarinya dan berdiri. Dia berbalik menghadap kami dengan senyum di wajahnya.
“Tambahin fantasy yuk! Biar ceritanya gak bosen. Disesuaikan dengan imajinasi kita aja.”
“Oh jadi nih fantasy-nya?,” goda Dilla. Karina menatapnya dengan penuh permohonan maaf. “Hehehe, maap, becanda doang. Kalo , aku suka putri duyung.”
“Apa aja boleh. Kita balik ke asrama dulu ya. Laper nih,” keluh Fluorin.
“Ayo. Nih aku udah bungkusin batagor.”
***
“Oke. Kita mulai dari Lola. La, fantasy kamu mau ide apa?” tanya Karina.
“Maksudnya?” balas Lola ditengah-tengah kunyahan batagornya.
“ALOLA! Fokus dong!” ujarku kesal. Pengen banget tukerin otak lola-nya Lola demi tugas ini. Hiih! Sebel!
“Ehehe, maap yeu. Idenya ya…hm…peri musik?”
“Cucok sama kamu, La. Pianist band sekolah,” ujar Fluorin.
“Terus kamu, Fluo? Mau apa?”
“Bingung, Kar. Aku tuh imajinasinya gak jalan.”
“Kamu sukanya apa gitu,” ujar Karina berusaha membantu Fluorin.
“Gimana kalo ide dari alam? Nature kan luas,” usulku.
“Air terjun?” “Kupu-kupu?” “Pohon cemara?”
“Aku pilih air terjun.”
“Air terjunnya kenapa nih?”
“Nanti coba digabungin sama yang lain aja.”
“Sip. Next, aku ya? Aku pilih magical florist. Terus Dilla, giliran kamu.”
“Aku putri duyung. Kan tadi udah bilang.”
“Mastiin doang. Terakhir kamu, Nad. Kamu pilih apa?” Karina beralih menatapku.
Aku tersenyum kecil, “My favorite fantasy is…powerful vampire.”
“Kayak bocah deh,” komen Lola. Aku mendelik kesal. Lola hanya acuh tak acuh lalu kembali melahap batagornya. Belum sempat dia menyuap batagor itu, aku sudah menggigitnya duluan.
“NAD! Batagor gue itu! Jatah lo diatas meja noh!”
“Bodo! Siapa suruh ngatain gue? Sendirinya diambil batagor satu aja nangis. Cengeng!” balasku habis-habisan.
“Stop! Guys, itu cuma batagor. Nanti kita bisa beli lagi,” lerai Karina, “Sekarang ide udah terkumpul. Coba kita gabungin antara genre drama dan romance berdasarkan kejadian nyata tadi di taman kota. Terus fantasy berdasarkan ide masing-masing.”
Kamar asrama kembali senyap. Kami tidak lagi meributkan hal yang tidak penting. Fokus kami sekarang tertuju pada alur cerita yang kami rancang. Dan setelah beberapa menit, aku mengangkat tangan. Menandakan bahwa aku siap menyampaikan ideku.
“Silahkan, Nad.”
“Oke. Jadi ceritanya itu ada siswi biasa dan siswa biasa. Mereka bersekolah di tempat yang sama, tapi beda kelas. Nah seperti kisah drama dan romance, mereka awalnya saling benci terus suka deh. Pas udah saling suka, terbongkar rahasia. Cewek ini ketemu putri duyung. Putri duyung ini bisa musik, punya taman bawah air paling indah, dan dia ini powerful diantara putri duyung lainnya,” aku berhenti untuk menarik napas, “Tapi ternyata, putri duyung ini adalah siswi yang asli. Dan siswi tadi itu adalah putri duyung yang asli.”
Fluorin mengangkat tangan, “Agak kurang paham. Coba masukin nama.”
“Misal si siswi ini namanya Yuna, si siswa namanya Adi, putri duyungnya bernama Rena. Nah si Yuna ini adalah putri duyung yang asli dan Rena adalah manusia yang asli. Kenapa mereka bisa ketuker? Karena Rena pernah liat Yuna secara gak sengaja di lautan. Dia mohon biar bisa jadi Yuna dan akhirnya jadilah seperti itu. Yuna lupa ingatan itu karena Rena minta ingatan Yuna dihapuskan.”
“Aku mau tebak dong,” ujar Dilla. Aku mengangguk, memperbolehkan. “Terus akhirnya si Rena menyesal menukarkan kehidupannya dengan Yuna. Endingnya, mereka kembali ke asal dengan Adi tetep suka sama Yuna.”
“Betul! Itu endingnya.”
“Tapi, kalo begitu, sad ending dong? Yuna sama Adi kan udah beda dunia,” tanggap Karina setelah mengobservasi ending yang barusan diusulkan Dilla.
“Bener juga. Gimana kalau endingnya Rena tetap terjebak di tubuh putri duyung dan dia gak bahagia. Terus Yuna ingatannya dikembalikan tapi dia tetap bahagia karena dia menghargai hidupnya baik di laut maupun di darat.”
“Setuju. Lanjut, si Yuna sama Adi gimana bisa benci terus suka itu?” tanya Dilla sambil mengetuk jari di dagunya.
“Awalnya karena memperebutkan juara. Kalau suka, awalnya dari musik?” usul Lola perlahan. Kayaknya dia takut idenya gak masuk akal.
“Bisa! Terus nanti mereka jalan-jalan ke pantai. Adi mainin musik kesukaan Yuna dan dia ingat kembali kehidupannya di laut. Gak lama, mereka ketemu Rena dan problem solve.”
“Sip, gitu aja ya. Aku ulang ceritanya. Ready?”
“Ready!!”
“Ada siswi bernama Yuna dan siswa bernama Adi. Keduanya saling benci satu sama lain karena memperebutkan juara sekolah. Namun lama kelamaan, keduanya saling suka saat mereka mendengar permainan musik satu sama lain. Saat libur sekolah, Yuna dan Adi berjalan-jalan di pantai. Rupanya sedang ada pesta kembang api. Lalu Adi memainkan musik kesukaan Yuna yang bercerita tentang lautan. Tiba-tiba, ingatan Yuna kembali. Dia adalah sang putri duyung. Putri duyung dengan keahlian bermusik, pemilik taman bawah air terindah, dan pemilik kekuatan paling kuat di seluruh lautan.
Yuna menatap kakinya dengan kaget. Dia menarik Adi dari atas panggung. Dia menceritakan kepada Adi tentang dirinya yang sebenarnya. Awalnya Adi tidak percaya. Lalu muncullah seekor putri duyung bernama Rena yang memanggil mereka dari balik karang. Rena menceritakan bahwa dialah yang memohon supaya nasibnya ditukar dengan Yuna. Namun setelah sekian lama, dia tidak bahagia. Dia sudah memohon agar nasibnya dikembalikan seperti semula, tapi tidak dikabulkan.
Rupanya itu adalah permintaan kontrak yang berarti hanya bisa satu kali memohon. Rena tidak bahagia karena dia tidak menikmati kehidupannya yang baru. Dia terus mengeluh ini dan itu, sama seperti saat dia menjadi manusia. Sedangkan Yuna bahagia saat menjadi duyung maupun manusia karena dia menikmati dan menghargai kehidupannya.
Sebagai hadiah atas sikapnya yang selalu menunjukkan rasa syukur, bakat Yuna dikembalikan. Dia kembali sebagai dirinya yang dulu. Ahli bermain musik, pemilik taman terindah di lingkungannya, dan pemilik kekuatan kasih dan syukur. Begitulah kisahnya.”
PROK! PROK! PROK!
“YES! This is more than what I thought.” “Terima kasih guru bahasa Indonesia!” “Cerita impian gue jadi nyata!” “Thanks God, hari ini berakhir dengan baik.”
Aku tersenyum melihat sahabat-sahabatku ini. Hidupku akan terasa hambar tanpa mereka bagai sup tanpa garam. Betapa aku bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran mereka. Meski mereka tidak bisa selalu membuatku senang, tapi mereka terus berusaha membuatku senang.
Dan inilah cara kami untuk mencapai hasil kelompok yang maksimal. Pertama, berkomunikasi dengan menyampaikan pendapat, bertanya, dan mendorong ide-ide satu sama lain. Kedua, berkolaborasi dengan ide masing-masing sampai mendapat penggabungan ide yang baik. Ketiga, berpikir kreatif sambil berusaha memasukkan semua ide. Terakhir, kritis dalam mengamati ide yang sudah disampaikan lalu bisa memberikan pendapat atau mengurangi bagian cerita agar mendapat hasil yang maksimal. Ini cara kami. Kalau caramu bagaimana?
~END~
Nadya Livina Bunarto Anggono – SMPK PENABUR Kota Modern
***
Mari bergabung di BPK PENABUR Jakarta https://psbjakarta.bpkpenabur.or.id/
Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur
© 2019 YAYASAN BPK PENABUR