Cerpen 2 Karya Chrysilla F

BERITA LAINNYA - 31 May 2021

  Pagi hari itu, hujan turun dengan sangat deras. “Bangun, Cici!” teriak Moira sambil mengguncang-guncang bahu kakaknya yang sedang tertidur lelap di ranjang. Pio yang perlahan mulai terbangun lalu terkejut dan segera mengambil alarmnya. Tertulis pada alarmnya, 6:30. Ia telat. Moira yang melihat kakaknya panik itu mendecak sambil melipat lengan. “Udah Moi duga, kalau hujan memang kakak gabisa dipisahin sama ranjang.” kata Moira. Pio yang sedang sibuk di kamar mandi berteriak, “Kaya kamu nggak aja!” Moira menggeleng-geleng kepalanya. Kedua kakak beradik itu memang seperti pinang dibelah dua, entah kenapa susah sekali untuk bangun.

 

  Sesudah siap-siap, Pio mencium pipi ibunya dan segera berangkat membawa sepedanya. “Moira gak dicium?” teriak Moira sambil mencibirkan bibirnya. Pio yang sudah terlanjur di depan rumah meneriakkan, “Love you, dek!” Ibu yang melihat kejadian tersebut tertawa sambil memeluk anaknya yang bungsu. 

 

  Sesampainya Pio di sekolah, gerbang sudah ditutup, dan beberapa anak yang terlambat terlihat di depan lobi sekolah. Sekitar 10 meter dari lobi sekolah, ada jalur yang menuju pintu masuk bagi karyawan sekolahnya. Ia menyelinap melewati gerombolan anak-anak terlambat, menuju jalur tersebut. Namanya sudah tercatat dalam buku daftar terlambat sebanyak 4 kali. Bertambah satu hanya akan membuatnya semakin repot. Mengikuti jalur tersebut, terdapat sebuah jalur lagi ke kiri di samping pintu masuk karyawan. Pio mendapati sebuah lift yang sudah lama tidak terpakai.

 

  Yang mengetahui lift tersebut hanya sedikit saja, karena lift tersebut merupakan lift yang dulu dipakai oleh para murid angkatan pertama, sebelum akhirnya lift dipindahkan ke lobi utama yang sekarang. Pio dengan cepat menekan tombol naik, ketika langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Ia menoleh, dan berpapasan mata dengan seorang murid laki-laki yang menggunakan hoodie berwarna kuning. 

 

  Ia tidak familiar dengan murid tersebut. Aneh, padahal Pio mudah sekali menghafal muka orang. Dari pin yang dicantumkan dalam kemejanya, tertulis XII. ‘Ohh, anak kelas 12 toh..’ batin Pio. Ia pun langsung buru-buru memalingkan pandangan. Namun, murid laki-laki tersebut masih saja menaruh pandangannya pada Pio. Pio diam menatap lift sambil berpura-pura melihat kukunya. Setelah 2 menit hening, murid laki-laki tersebut akhirnya bertanya dengan pelan, “Kok bisa tahu lift ini?” Pio menjawab, “Ah, dikasih tau kakak saya. Kalau kakak? Tau dari mana lift ini?” Murid tersebut ingin menjawab kembali, ketika pintu lift terbuka. Pio dan murid tersebut masuk, lalu dengan sigap Pio memencet tombol nomor 5. Saat melewati Pio tadi, ia melihat sebuah gantungan kunci yang bersuara dari tas murid tersebut. Mencuri pandangan, ternyata sebuah gambar bulan. Aneh, pikir Pio.

 

  Setelah beberapa detik dalam lift tersebut, Pio mulai bingung karena murid tersebut tidak menjawabnya. Ia ingin bertanya, namun angka menunjukkan bahwa mereka sudah memasukki lantai 4. ‘Sebentar lagi sampai, gak bakal keburu.’ batin Pio. Pintu lift terbuka dan ia mengutuk kesialannya dalam hati. Di hadapannya, ada kepala sekolah mereka yang tampaknya sedang terburu-buru. 

 

  Sepertinya ia menggunakan lift tersebut karena lift utama penuh. Pak Sayi, namanya. Beliau menatap kedua murid yang menggunakan lift tersebut sambil menghela nafas, ”Piona, kamu ke ruang bapak. Adrian, cepat sana masuk kelas.” Piona mengumpat dalam hati, namun heran melihat Pak Sayi yang galak bisa mengeluarkan intonasi yang lembut ketika berbicara dengan Adrian. Adrian, nama murid laki-laki tersebut, mengangguk dan berterimakasih kepada Pak Sayi. Dengan cepat, ia sudah menghilang dari tempat tersebut, menyisakan Pio dan Pak Sayi sendiri. 

 

  Selesainya sekolah, Pio mengajak sahabat karibnya, Boki, untuk mengintip ruangan kelas 12. “Ayo cepat, Ki! Nanti keburu hilang kakaknya.” kata Pio. Boki menggeleng-geleng sambil membiarkan dirinya ditarik Pio mendekat ke ruangan kelas 12. “Buat apa sih, Pioo.. memangnya kakak itu ganteng? Kenapa kamu tertarik banget?” sahut Boki. 

 

  “Ngga, tapi aneh banget, ga sih? Aku gak pernah lihat dia, terus bayangin aja, Ki. Tadi Pak Sayi baik banget sama dia. Curang banget, padahal dia juga terlambat tadi.” balas Pio sambil menengok kanan dan kiri mencari Adrian. ‘Dapat.’ batinnya dalam hati ketika ia melihat seorang murid dengan hoodie kuning. Boki mengikuti arah mata Pio dan ikut menatap Adrian. “Ohh yang itu..” sahut Boki dengan nada sedih. “Kamu kenal, Ki?” tanya Pio penasaran. Boki mengangguk pelan, “Dia pernah datang ke rumahku, Pi, konsultasi sama papa.” Pio teringat kembali bahwa pekerjaan ayah Boki adalah dokter keliling. Pio menatap kembali Adrian yang sedang menaruh buku ke dalam tasnya. “Kata papa, dia punya kanker stadium 3. Papa menyarankan dia segera ke rumah sakit, mungkin sekarang sudah mulai pengobatan.” kata Boki. Pio mengangguk mengerti. 

 

  Ternyata itulah alasan kenapa Pak Sayi membolehkannya lolos. Guru-guru sepertinya sudah tahu, dan membiarkan Adrian mendapat perlakuan khusus. Pio menatap Adrian dan menyadari betapa kurusnya anak itu. Sejak hari itu, Pio mencari informasi-informasi mengenai kanker, dengan hasil bahwa sampai sekarang kanker masih belum ada obatnya. Pio pun mendapat ide untuk menyemangati Adrian setiap hari dengan memberi roti beserta tempelan sticky note yang berisi kata-kata penyemangat. Roti tersebut ia taruh di meja Adrian tiap pagi sebelum jam 6, ketika kelasnya masih sepi.

 

  Suatu hari, waktu menunjukkan pukul 5.45 subuh, ketika Pio memasukki ruangan kelas Adrian membawa roti di tangannya. Ia hendak menaruh roti tersebut di laci Adrian ketika sebuah suara mengagetkannya, “Ternyata kamu.” sahut Adrian yang baru saja memasukki ruangan tersebut. Panik, Pio mencoba mencari-cari alasan. “Kalau kasihan, bilang saja.” tatap Adrian sambil mengernyitkan keningnya. “Bukan begitu, kak. Saya hanya sekadar ingin menyemangati..” balas Pio. Raut muka Adrian semakin gelap, membuat Pio semakin salah tingkah. Pio dengan cepat menyodorkan susu pisang, “Mungkin kakak suka ini?” Melihat Pio yang gemetar, Adrian menenangkan dirinya dengan tertawa dan mengambil susu pisang tersebut. “Maaf, tidak bermaksud untuk marah.” Kata Adrian. Pio senyum canggung dan mengangguk-angguk.

 

  Pio menghela nafas pelan, ketika Adrian membuka plastik sedotan susu pisang. Pio menatap Adrian yang angkat kaki dari ruangan sambil meminum susu pisang darinya. Pio mengikuti dari belakang, sambil mencoba menjajarkan langkahnya dengan Adrian. Sambil memasang earphonenya, Adrian duduk di kantin yang masih belum ada penghuninya itu. Pio yang takut-takut mendekati, disuruh duduk oleh Adrian. 

 

  Gadis itu bertanya, “Kakak lagi dengerin apa?” Adrian menoleh dan menjawab, “Fly Me to The Moon.” Pio mengangguk-angguk, “Waktu itu, kakak punya gantungan kunci bulan. Kakak suka bulan?” Adrian menatap Pio dan diam sebentar, sebelum menjawab, “Iya,” Ia memejamkan matanya, “Cita-citaku menjadi astronaut, ingin sekali bisa mendarat di bulan membawa nama Indonesia.” Pio mengangguk-angguk, “Keren, kakak sudah tahu mau jadi apa.” 

 

  Adrian membuka matanya, “Semoga tercapai.” Pio diam sejenak, menyadari betapa menyinggungnya kalimatnya itu. Dari dulu, Pio belum tahu ingin menjadi apa, sehingga ia mengagumi Adrian yang sudah tahu ingin menjadi apa dengan yakin. Pio menunduk, ketika Adrian tiba-tiba berkata, “Besok lusa aku akan dioperasi.”

 

  Pio membeku. Adrian tersenyum dan berkata, “Tenang, aku akan menang melawan penyakit itu dan menjadi astronaut Indonesia yang pertama kali ke bulan.” Pio tertawa dan mengangguk, “Kakak pasti bisa.” Mereka berbicara banyak subuh itu, menghabiskan waktu sebelum bel berbunyi. Tiba-tiba Adrian terbatuk-batuk dengan keras dan menutupnya dengan tangannya. Pio melihat. Darah yang banyak. Panik, ia segera berdiri dan mencari tisu. Adrian menggeleng kepalanya, mengambil tisu tebal dalam kantung celananya, lalu pergi ke toilet. Pio menunggu dengan khawatir. Setelah ia balik, wajahnya terlihat lebih pucat dari sebelumnya. “Tenang, ini udah biasa.” tawanya. Bel pun berbunyi dan Adrian menyuruh Pio balik ke kelasnya.

 

  Pio pun balik dengan hati yang tidak tenang. Saat bel pulang sekolah, para murid beramai-ramai berjalan di koridor sekolah. “PIOOO,” Boki yang baru saja dari luar kelas menghampiri sahabatnya, “Kak Adrian pingsan terus masuk rumah sakit katanya!” Pio yang kaget berdiri dan terburu-buru memasukkan bukunya ke dalam tas. Cemas, khawatir, takut. Semua itu seketika ia rasakan ketika mendengar kabar bahwa teman barunya pingsan.

 

  Lalu, ia menghampiri guru dan bertanya tentang kebenaran kabar tersebut. “Iya benar, Pio. Kami guru-guru juga sekarang mau berangkat ke rumah sakit. Kamu temannya Adrian? Mau ikut?” kata Pak Heru sedih. Pio mengangguk kencang.

 

  Ribuan tetesan air menyerbu bumi ketika mereka sampai di rumah sakit, mengakibatkan Pio harus menerobos hujan sambil berlari. Masuk ke dalam ruang tunggu operasi, Pio melihat orang tua Adrian, dan adiknya sedang menangis tersedu-sedu. ‘Tidak.’ batin Pio, sambil menyangkal semua pikiran buruk di kepalanya, lalu bertanya kepada Pak Sayi yang sudah mendapat kabar dari dokter. “Pak, gimana kabar Adrian?” tanya Pio cemas. Terbawa suasana kamar tunggu operasi yang tegang, Pio mulai bergetar. Pak Sayi melihat Pio sedih, “Kita relakan ya, Pio..” Pio membeku. Lalu air mata mulai turun ke pipinya. Para guru merapat mencoba menenangkan pihak keluarga Adrian. Hari itu terasa sangat panjang dan melelahkan bagi seluruh individu di ruang tunggu operasi.

 

  Adrian adalah seseorang yang pantang menyerah, walaupun dalam kondisinya yang sudah parah, ia tetap semangat berjuang, karena ia punya mimpi yang ia ingin raih, sebuah masa depan yang ia tuju. Walaupun akhirnya, ada beberapa hal yang tidak bisa kita raih. Kita harus tetap menghadapi hidup dengan semangat dan tanpa putus asa.

Tags:

Informasi Terkini seputar sekolah kristen BPK PENABUR

Daftar Indeks Berita Terbaru dari BPK Penabur

BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 20 May 2020
Ujian Praktik TA 2019-2020
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 29 January 2021
Pelantikan Anggota Paskibra
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 29 January 2021
Pelantikan PMR
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 01 February 2021
Ibadah Spekta: Membuka Ruang
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 29 January 2021
Pelantikan Pramuka SMAK PENABUR Kota Wisata
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 27 August 2020
LOLOS SBMPTN
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 06 September 2020
EDUFAIR AKW
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 30 September 2020
PENGUMUMAN PSB AKW 2021-2022
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 03 September 2020
OPEN HOUSE AKW
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 19 September 2020
Seminar Psikotes AKW
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 16 January 2023
PKBN2K : MENGERJAKAN KESELAMATAN NASIONAL
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 02 January 2023
PKBN2K : MENDERITA WALAU TAK BERDOSA
PKBN2K : MENDERITA WALAU TAK BERDOSA
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 23 January 2023
PKBN2K : MESIAS YANG MENDERITA
PKBN2K : MESIAS YANG MENDERITA
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 06 February 2023
“KEKAYAAN ROHANIAH”
“KEKAYAAN ROHANIAH”
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 13 February 2023
“HIKMAT DI DALAM KETEKUNAN”
“HIKMAT DI DALAM KETEKUNAN”
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 26 August 2023
Satu Dasawarsa SMPK dan SMAK PENABUR Kota Wisata
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 27 August 2023
Padus Spekta Ikut Melayani Tuhan Melalui Pujian
Padus Spekta Ikut Melayani Tuhan Melalui Pujian
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 30 September 2023
Cerpen (Petang Sore)
Cerpen (Petang Sore)
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 30 September 2023
Cerpen (Percobaan Theseus)
Cerpen (Percobaan Theseus)
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 30 September 2023
Cerpen (Sonata dan Stroberi)
Cerpen (Sonata dan Stroberi)
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 08 February 2024
Cerpen : "Kisah Cinta Niskala Anak SMA"
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 29 February 2024
PKBN2K : "Penguasaan Diri"
PKBN2K : "Penguasaan Diri"
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 29 February 2024
PKBN2K : "Kesabaran"
PKBN2K : "Kesabaran"
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 29 February 2024
Renungan Pagi : "STATUS DAN FUNGSI"
Renungan Pagi : "STATUS DAN FUNGSI"
BERITA BPK PENABUR JAKARTA - 20 February 2024
Renungan : "MEMBERI BUKTI”
Renungan : "MEMBERI BUKTI”

Choose Your School

GO